Negeriku Multi-Krisis
|
kegelapan |
Tulisan ini merupakan lanjutan
dari Ilusi Intelektual, Uang, ilusi poltik, dan yang terkait langsung adalah ilusi Pemberantasan Mafia Hukum dan
Korupsi. Adapun tulisan tersebut dapat anda baca di dalam blog kami ini.
... Apalagi dalam posisi negara
yang sedang dilanda multi krisis dan terlilit hutang yang melebihi jangkauan
atau kapasitas sumber daya manusia dan bahkan sumber daya alamnya.
Keteladanan tulusnya perjuangan
dan pengabdian kepada negara dalam kondisi Indonesia yang seperti sekarang
memang sangat patut kembali dikorbankan. Lihatlah itu lembaran sejarah Bung
Karno, demi utuhnya Negara Kesatuan Republik Indonesia, beliau rela keluar dari
istana dengan tangan hampa kecuali membawa buku-buku yang cukup memperkuat
pandangan nasionalismenya. Lihat itu lembaran sejarah Ki Hajar Dewantara, Bung
Hatta, Jenderal Soedirman, dan sebayanya: tidaklah
ada sejarahnya beliau-beliau memperkaya diri dan keluarganya.
Kalaupun tiada gading yang tak
retak, atau menerima gaji dari negara setelah merdeka, tetapi tetaplah itu
bukan tujuannya dan tetap kesetiaan kepada negara yang diutamakannya. Hal ini
terbukti dengan terlimitkannya gaji para pejabat negara pada masanya.
Berjuang dan terus berjuang,
mengabdi dan terus mengabdi kepada negeri, itulah kewajiban anak negeri sebagai
bukti implementasi iman dan takwanya setiap manusia di muka bumi. Sampai kapan
kita berjuang? Sampai akhir hayatnya. Selama hayat masih dikandung badan, di
situlah manusia masih terus berjuang. Tidak mampu berjuang dengan harta, dengan
tenaga, tidak mampu dengan tenaga, dengan pikirannya, yang jelas tujuannya
untuk kemanfaatan dan kesejahteraan orang banyak.
Jangan biarkan jiwa perjuangan
menghilang. Menghilangnya jiwa
perjuangan adalah kecelakaan bagi bangsa dan negara serta anak cucu manusia.
Terpelesetnya jiwa juang jelas berubah menjadi jiwa yang hanya suka
bersenang-senang alias berpoya-poya tanpa memikirkan keselamatan jiwa pribadi
apalagi sesamanya. Apa yang perlu diperjuangkan? Yang perlu diperjuangkan
adalah tata rasa sejahtera manusia dalam wajib berbangsa dan bernegara.
Janganlah engkau dan aku ini hidup tanpa perjuangan.
Jangan sampai manusia hanya tahu
akan sensasi-sensasi perjuangan, tetapi tanpa bukti dalam berjuang. Jangan
sampai kelak Tuhan akan menanyakan apa buktinya kamu berjuang. Mana hartamu
yang engkau korbankan demi negara? Lalu, mantan pejabat negara itu menjawab, wahai Tuhanku, itulah tujuh sapi aku
korbankan demi rakyatku yang 250 juta jiwa, dan sudah mengundang wartawan untuk
menayangkan, agar semua rakyatku tahu, dan bagi tuna netra setidaknya mendengar
bahwasanya aku adalah pemimpinnya yang kaya dan dermawan.
Dari jawaban seperti itu, Tuhan
pun akan berkata: “alangkah kikir dan
tidak tahu malunya kamu!
Berapa engkau menerima gaji dari uang rakyatmu?
Sudah
sangat kikir, malah ibadatmu engkau pamer-pamerkan pada rakyatmu? Sungguh
kedzolimanmu itu menjadi-jadi”. Sesungguhnya, sejatinya ibadat adalah
berjuang dalam arti mengorbankan harta, pikiran, dan tenaga demi kesejahteraan
bersama, dan hanya demi menggapai ridho Tuhan semata.
Dari arah kultus uraian di atas,
jelaslah tidak menuding dan apalagi menuduh pada salah satu pihak, golongan,
dan apalagi pribadi manusia. Namun, demi terbukanya wacana kepemimpinan
khususnya Indonesia di masa mendatang, agar lebih dimunculkannya tata ruang
kenegaraan yang tulus pengabdiannya kepada negara, baik itu dalam pihak rakyat
maupun pejabatnya.
Ya..! hanya ketulusan dalam niat
dan tindakan nyata atau implementasi dari kata perjuangan itulah yang bisa
mengatasi gonjang-ganjingnya sebuah negara, atau bahkan dunia. Dari jaman ke
jaman, mafia – mafia yang mencakup korupsi itu pasti akan selalu ada dan hanya
ketulusan dalam bulatnya perjuangan yang terbukti dalam berani berkorban harta,
pikiran, tenaga, dan bahkan jiwa – raga, itulah yang bisa menetralkan
(mengatasi).
Negara atau tanah air kita sudah
jelas-jelas terbukti berbakti kepada kita, tapi mengapa kita tidak sepenuhnya
berbakti kepada negara?
Darah daging kita sebagai bangsa
Indonesia jelas timbul dari tanah air Indonesia, mengapa kita tidak sepenuhnya
berbakti untuk Indonesia demi terwujudnya sejahtera bersama sesuai ukurannya?
Dan tak bisa terbayangkan dalam hati ini, betapa bahagianya apabila seluruh
bangsa ini memikirkan kesejahteraan bangsa ini.
Sesungguhnya, tidaklah itu
rakyat, tidaklah itu pejabat, adalah itu wajib mengabdi kepada negara. Itulah
pula sesungguhnya konsekuensi sebuah bangsa yang bernegara. Namun, bagaimana
engkau dan aku bisa dikatakan dan atau mendapat stempel sahnya pengabdian dari
sesama, alam semestaNya, dan Tuhan Yang Maha Esa, apabila kita belum berkorban
harta, tenaga, dan pikiran yang sepenuhnya demi negara? Dan yang lebih lucunya
lagi, bagaimana kita akan memberantas mafia dan korupsi, apabila kita belum
bisa memberantas mafia-mafia dan korupsi-korupsi pada diri kita sendiri?
Ketulusan adalah cara
menetralisir mafia-mafia dan korupsi-korupsi. Para mafia dan koruptor itu juga
punya nurani. Semoga para mafia dan koruptor negeri ini segera terpanggil oleh
nuraninya sendiri, untuk sepenuhnya berubah menjadi pejuang atau pengabdi negeri
yang sejati. Ingatlah! Hidup itu tidak untuk berlomba harta, tapi
kebajikan yang nyata. Itulah sebaik-baik bekal untuk mengahadap pada
Tuhannya, dimana engkau dan aku pasti ada saatnya akan mengalaminya (mati).
Penulis:
Sidik Purnama Negara, telah dibukukan dalam “Negara Pecah Matrix”, Bab IV.