Rasio
keyakinan timbul dari kepercayaan. Kepercayaan adalah timbul dari kemudahan,
ketepatan yang anti kelicikan. Artinya, guru harus bisa menjadi guru dalam
bukti mendidik. Ualam atau sesepuh harus bisa menjadi sesepuh yang pantas
diteladani, dalam bukti menasehati. Pemimpin harus bisa memimpin, dalam bukti
mengayomi dan mensejahterakan rakyat se-negaranya.
Dalam
sucinya hayat penulis, pemberantasan mafia hukum dan korupsi adalah hanya
sensasi dan ilusi.
Mungkin pernyataan atau cara pandang ini adalah sesuatu yang
mengejutkan, membingungkan, dan bahkan bisa pula disebut kontroversial bagi
sebagian atau bahkan kebanyakan pihak yang sedang menderu debu dalam
langkah-langkah pemberantasan segala mafia hukum dan korupsi.
Mengejutkan?
Ya, mengejutkan bagi kaum yang sedang terangan-angan panjang oleh gagahnya
kewenangan untuk bisa melakukan pemberantasan mafia hukum dan korupsi. Namun,
bagi pandangan suci, hal tersebut dipastikan tidak mungkin bisa sampai mati.
Mungkin kilah ucapan atau segi pandangan lain akan bisa berdalih, setidaknya
sistem pemberantasan itu akan mengurangi. Namun kenyataanya, pastilah akan
lebih menjadi-jadi. Hanya saja sistemnya yang diganti dalam menjalani mafia dan
korupsi, dengan cara lebih berhati-hati atau merapihkan posisi.
Menurut
ukuran dan kehendak Tuhan, jelas sangat jauh dengan menurut ukuran dan kehendak
manusia. Apalagi bila dibandingkan dengan ukuran dan kehendak manusia yang
kurang komplit akal budi dan perasaan dalam hayat yang disertai hajat suci
sesuai nurani. Misalnya: maling menurut manusia yang kurang komplit dalam
menggunakan energi akal budi, jelas dicari, dikejar, ditangkap seperti ikan,
lalu bahkan dipukuli dan dibawa kantor polisi untuk diadili dan kalau perlu
dihukum mati.
Namun,
bagi manusia yang komplit dalam menggunakan energi akal dan budi, maling itu
cukup dinasehati sebab musababnya kenapa bisa mencuri, lalu dicarikan solusi,
dan barulah apabila mengulang kembali bisa diberi sanksi. Mengapa? Sebab,
menurut ukuran manusia yang telah komplit menggunakan akal budinya, maling itu
belum tentu maling (watak maling). Bisa jadi dia melakukan karena saking
kepepetnya (terlalu tertekan dan terhimpit keadaan). Atau, bisa jadi ia mencuri
dengan niat menolong yang lain, atau bisa jadi dia berniat mengasih nasehat
dengan cara mencuri, dan sebagainya.
Selebih
dari itu, bagi kaum yang telah komplit dalam menggunakan akal budinya, beliau
telah yakin bahwasanya maling itu juga manusia yang ada pada Nur Illahinya.
Dengan demikian, kaum seperti itu telah yakin bahwa maling itu hanya sebuah
prosesi kodrat. Artinya, maling itu tidak mungkin selamanya hidup menjadi
maling. Dan pada saatnya pasti akan menyadari dan berhenti jadi maling. Lalu ia
bisa dijadikan media perantara untuk mencari para maling agar semua para maling
berhenti jadi maling. Langkah ini bisa diterapkan asal pemerintahan dalam
sebuah negara benar-benar memikirkan solusi penghidupan dan kesejahteraan jiwa
manusia (rakyatnya).
Langkah-langkah
sensasional tentu bisa dipastikan hasilnya akan ilusional. Sebab, sensasional
jelas tidak diperlukan dalam penataan sebuah negara, kecuali hanya
mengoyak-oyak dan sifatnya hanya musiman saja. Karena, sensasional jelas tidak dilandasi ketulusan, sedangkan yang diperlukan
dan dinanti-nanti oleh negara adalah ketulusan. Ya..! sosok-sosok pemimpin
yang tulus dan ikhlas dalam wujud bukti mengabdikan diri yang murni kepada
negeri.
Namun,
bagaimana akan murni apabila masih menerima dan bahkan berlomba-lomba dalam
membesarkan gaji, dan dipastikan walaupun sedikit tetap korupsi. Belum jelas
dan leluasanya definisi mafia dan korupsi juga merupakan kegalauan dan
kekacauan dalam sensasi pemberantasan ini. Dalam arti luasnya, mafia dan
korupsi juga bisa diartikan kepada mafia waktu atau korupsi waktu dalam jam
kerja, dalam pengabdiannya. Dan, pada hal ini, semua aparat dipastikan korupsi,
walau pun sedetik. Intinya, semua orang jelas mengalami korupsi. Mungkinkah
akan diberantas?
Negeri
ini memerlukan ketulus-ikhlasan, bukan pemberantasan yang ilusional. Ketulusan
rakyat dan pejabatnya adalah fundamental kemajuan dan kesejahteraan sebuah
negara. Ketulusan dalam apa? Yaitu ketulusan dalam mengabdikan atau berjuan
demi negara. Apa itu mengabdi dan berjuang? Mengabdi adalah berlomba-lomba
dalam memberikan kebajikan. Apa kebajikan itu? kebajikan adalah sesuatu yang
membawa kesejahteraan bagi masyarakat yang tanpa pandangan perilakunya, atau
pandangan iman dan takwanya.
Apakah
masyarakat dan pejabat sekarang tidak tulus? Ya..! banyak yang sangat tidak
tulus, sebagiannya setengah tulus, sebagiannya munafik, dan sebagiannya lagi
masa bodoh, serta ada yang putus asa hingga yang paling parah adalah frustasi.
Hal ini bisa dilihat dan dirasakan dengan maraknya perubahan sikap dan sifat
bangsa, yang mengarah pada sistem individualisme, kapitalisme, imperialisme,
dan oral moralisme (teori) belaka.
“Di mana bumi dipijak, di situ langit
dijunjung”. Pepatah tersebut kurang lebih artinya: di mana manusia
dilahirkan dan bertempat tinggal, di situlah wajib mengharumkan nama wilayahnya.
Rasanya pepatah ini memang sangat tepat untuk memprakarsai pulihnya kembali
rasa nasionalisme Indonesia yang tulus dalam pengabdiannya. Janganlah bangsa
ini bertanya yang telah diberikan oleh negara kepada rakyat dan pejabatnya
,
tetapi tanyalah apa yang telah diberikan rakyat dan pejabat kepada negaranya.
Dalam
hal yang demikian, memang Indonesia masih teramat pincang, atau setidaknya
sedang sangat nampak dalam kesemrawutan. Dalam yang saya rasakan dan sesuai
kenyataan di Indonesia saat ini adalah pejabat dan pegawai dipastikan dalam
menerima gaji, sementara masyarakat selalu digali dalam ekonomi yang dipastikan
pula wajib setor uang murni, tanpa diberikan kepastian sumber pendapatan uang
atau diberi solusi keuangan yang pasti. Artinya, tidak ada rakyat yang
difasilitasi sumber ekonomi, baik berupa ternak atau kebun atau sawah yang sah
atas nama negara yang dikelola untuk rakyatnya.
Dengan
tidak ada solusi yang demikian, tentulah ketimpangan uang selalu
berkepanjangan. Ketimpangan yang
berkepanjangan tentu akan berdampak frustasi masal. Dan bilamana bangsa ini
sudah jujur dalam merasakan, sesungguhnya rakyat Indonesia saat ini adalah
dalam sudut frustasi. Artinya, sudah tidak perlu lagi gambar-gambar dan tulisan
wacana atau orientasi negeri, tetapi lebih cenderung minta bukti bakti para
pejabat negeri ini yang jauh dari sekedar orasi apalagi sensasi.
Bukti?!
Ya, bukti..! rakyat Indonesia saat
ini sedang sangat memerlukan bukti
pemimpin yang betul-betul bisa dalam mengayomi dan mensejahterakannya. Sedangkan
dalam bisa membuktikan adalah hanya dengan ketulus-ikhlasan yang jelas harus
anti keserakahan atau penumpukan harta pribadi dan keluarga yang lebih dari
sekedar kecukupan.
Bila
hal tersebut terlaksana, ini adalah bukti dari pernyataan sumpah abdi negara
yang tanpa pura-pura atau rekayasa, namun terbukti nyata dalam kata tegasnya. Buat apa pejabat negara itu menerima gaji
apabila segala sesuatunya di tanggung oleh negara? Di mana bukti pengabdian dan
perjuangannya? Pasalnya, adakah dan pantaskah predikat pejuang mau menerima
kepastian bayaran dalam setiap bulannya? Apalagi dalam posisi negara yang
sedang dilanda multi krisis dan terlilit hutang yang melebihi jangkauan atau
kapasitas sumber daya manusia dan bahkan sumber daya alamnya.
Penulis: Sidik Purnama Negara, telah dibukukan dalam “Negara Pecah Matrix”, Bab IV.