Wahyu Ketentraman Dunia Bagian 2
|
ilustrasi gambar |
Tulisan ini
merupakan lanjutan kisah tentang penggapaian Wahyu Tri Jaya Murti Bagian 1.
Singkat cerita, ketika Prabu dari Keraton Astina sedang mengadakan pembahasan
wahyu tersebut bersama dua tokoh sesepuh kerajaan, datanglah seorang yang
bernama Songgo Sekti. Terakhir di penulisan (posting) Wahyu Tri Jaya Murti Bagian 1 adalah ucapan Songgo Sekti yang panjang dan menyakitkan bagi Prabu
Suyudana. Setelah itu, lanjutannya adalah sebagai berikut:
Melihat Songgo Sekti tidak
mengindahkan etika kerajaan, Senopati tersinggung lalu terjadilah peperangan di
alun-alun Astina. Senopati Astina kalah dan akhirnya kosonglah tahta Kerajaan
Astina. Banyak yang mencoba menjadi pemimpin, tapi tetap hasilnya nihil. Songgo
Sekti melanjutkan tugas mulia menemui Raja Titisan Wisnu di Dwara Wati.
1.
DI KERATON DWARA WATI
Prabu Kresna (titisan Wisnu) bersama
Raden Werkudara dan Raden Sentyaki sedang berembug akan mencari Kakang Semar.
Dengan kilas rasa was-was akan kepergiannya Kakang Semar, Sri Kresna bersabda:
Prabu
Kresna : “Hyang Sukma
Mustikaning Jagad (Sukma setiap manusia mustikanya dunia). Dimas Werkudara dan
Sentyaki, saya mendapat petunjuk atas bisikan Sang Hidup (sukma). Bahwa
kepergian Kakang Semar sesungguhnya sedang bertapa di Mandala Giri. Kakang Semar bertapa demi memenuhi kewajiban untuk
menerima Wahyu Tri Jaya Murti. Sebab hanya Kakang Semar yang kuat menerimanya.
Sebetulnya wahyu tersebut adalah hak darah barata yang berjiwa sura
(bijaksana). Kakang Semar hanya penerima, tapi pelaksana adalah para Pandawa. Sebagai
tanda selesainya bertapa, bila saya (Wisnu) dan Anoman (Shiwa) sudah datang dan
menggugahnya”.
Werkudara : “Itu tepat. Mari kita
segera cari Mandala Giri”.
Prabu
Kresna :
“Bila saatnya nanti kita cari. Segala niat tentu perlu saat. Apalagi kita berniat
menekat para kaum tirakat, meski kita bertata cara untuk menghormat”.
Sentyaki : “Apa yang
dihaturkan Kakanda Prabu betul. Para kaum tirakat sebagian besar adalah sangat
mengutamakan harkat dan martabat norma kemanusiaan, walau tentu dibikin nista tata
lahirnya. Menurut fakta banyak tutur rakyat, Kakang Semar adalah Dewa yang
dikodratkan menjadi pamong satria utama di dunia. Memang Kakang Semar sangat
pantas menyandangnya. Karena Kakang Semar selalu memberi suri tauladan
kebajikan satria utama”.
Di saat yang tepat, Senggo Sekti datang
menghadap Prabu Kresna.
Senggo
Sekti : “Saya yakin
Paduka tahu siapa hamba. Hamba yang selalu berprasetya untuk taat dan mendukung
Sang Wisnu dalam melaksanakan tugas Tuhan, untuk menentramkan dan
mensejahterakan dunia”.
Prabu
Kresna : “Ya... saya
tanggap. Sekarang sudah saatnya kita menggugah Kakang Semar yang bertapa. Tanpa
keturut sertaan Sang Pamong Satria Utama, tidak mungkin dunia akan kembali
tentram.
Sentyaki,
nanti kita akan kumpul di Mandala Giri. Namun sebelumnya, atas nama jiwa sura
Pandawa, Sentyaki mohon doa restu kepada Eyang Abiyasa yang sekarang sedang
berada di Padukuhan Klampis Ireng”.
Berangkatlah Prabu Kresna ke Mandala Giri dan
Sentyaki ke Klampis Ireng.
2.
DI PADUKUHAN KLAMPIS IRENG
Begawan Abiyasa sedang terharu dengan
kesungguhan hidup Kaki Semar. Dihadapannya adalah cucu Pandawa (Raden Janaka/
Arjuna) dan tiga anaknya Kaki Semar, yaitu: Nala Gareng, Petruk, dan Bawor.
Abiyasa sedang terharu dan berkata
dalam hati:
Begawan
Abiyasa : Swuhrep data pitana (menghening hidup dalam
tanya data ke bayangan raga, raga adalah pita seluruh kehidupan di dunia).
Memang rasa itu saksi hidup (sukma).
Bayangan adalah pita radar rekam setiap hidup di dunia yang tidak sedikit pun
meleset apalagi menjauhinya. Sesungguhnya keduanya adalah saksi yang mendata di
hadapan penciptanya setelah hidup sesudah matinya.
Tapi mengapa saksi rasa jarang digunakan
dalam perasaan? Sesungguhnya manusia dikehendaki rukun agar saling ingat kepada
Sang Pemberi Ingatan (Tuhan). Andai rasa mau saksikan, pasti akan merasakan
bahwa yang semua hidup ibarat telur diujung tanduk. Simala kama tanggung jawab
hidup yang tunggal saling dilaksanakan.
Terhindarlah saling kecam karena tahu
fungsi rasa merata sama kesaksiannya di dunia. Pahit dirasakan sama pahitnya,
manis dirasakan sama manisnya. Tidak ada si perasa miskin menganggap si kaya
tanpa derita. Tidak ada si perasa kaya, karena saksi rasa menyatakan bahwa
tiada kaya tanpa penuh derita. Derita itu surat panggilan saksi rasa demi
pengakuan adanya hidup adalah cipta dan tugas mulia dari Yang Esa. Sukarela
menghadapi hidup dan mati itulah surat derita. Bahagia itu bunga derita saja.
Tertegunlah Begawan Abiyasa mengingat
sukarelanya Kaki Semar dalam hidup demi tugas mulia. Bersambunglah kata dalam
hatinya:
Kakang Semar, betapa sukarela engkau
meneruskan perjanjian Wahyu tapa saya. Betapa engkau kukuh dalam
sungguh-sungguh hidup. Hidup itu tidak palsu, maka Kakang Semar tidak pernah
palsu. Saya patut lebih belajar kepada Kakang Semar, hidup muliamu sungguh itu
suri teladan. Kakang Semar penyubur satria utama di dunia.
Raden
Janoko : “Salam Bakti
cucu, paduka kakek.., perkenankan-lah cucu bertanya, mengapa kakek meneteskan
air mata..?”
Begawan
Abiyasa : “Kakek
sedang mengenang masa muda dan menghayat para peran hidup. Kakek malu dengan
sang hidup kakek. Kakek merasa kurang bisa bertanggung jawab pada tindakan
hidup”.
Raden
Janoko : “Maafkan cucu,
kakek. Sedikit kata cucu menggaung keharuan kakek. Menurut saya, kejadian itu
memang sudah garis kodrat. Ada yang bisa, dan ada yang tidak bisa. Itu
keharusan. Keduanya berperan untuk saling menunjukkan arah arti dan makna hidup
manusia di dunia”.
Di tengah pelukan rasa antara sang
kakek dengan cucunya, datanglah Raden Sentyaki, yang diutus mohon doa restu
oleh Prabu Kresna.
Raden
Sentyaki : “Salam
Bhakti Sentyaki, Begawan. Kedatangan saya atas nama pihak jiwa sura Pandawa,
untuk mohon doa restu demi mampu menerima dan melaksanakan anugrah Wahyu Tri
Jaya Murti”.
Begawan
Abiyasa : “Sabda
begawan sangat merestui. Ini memang sudah saatnya. Wahai para ksatria utama di
dunia..! Hilangkan separo jiwa angkara yang selalu membelah dada dunia
kemanusiaan. Angkara di dunia selalu membuat nilai kemanusiaan tertukar harta
kekayaan. Sekarang, yang demikian memang menang, tetapi tidak mungkin ia menangi (selamat). Ingat, nilai harta
itu buatan manusia. Tapi nilai kemanusiaan itu buatan Tuhan.
Jangan
angkara berbangga, sebab itulah musuh dunia. Dunia akan bersih dari Fir’aun
jilid dua. Hentikan angkara murka sebelum Barata Yuda dikehendaki Tuhannya.
Satria utama wajib mewujudkan ketentraman dunia. Selamatkan saudara-saudara
yang bijaksana. Berangkat dan gugahlah Kaki Semar segera, untuk melerai ronta
tangis dunia”.
Berangkatlah
Janoko dan Sentyaki ke Mandala Giri.
3.
DI MANDALA GIRI
Sampailah Prabu Kresna dan Senggo
Sekti yang diikuti beberapa para Jiwa Sura atau Pandawa. Para pihak Asura atau
Kurawa sudah lebih awal datang dalam berusaha untuk membangunkan Kaki Semar.
Berbagai cara dilakukan oleh Kurawa, tapi tetap gagal membangunkan. Di kala pihak
Pandawa akan membangunkan, para Kurawa melarang.
Kurawa : “Hai Pandawa..! Saya Kurawa
adalah darah Bharata yang lebih tua. Saya lebih berhak menerima wahyu
ketentraman. Kakakmu kurawa akan memunculkan raja penerang dunia. Kaki Semar
akan saya bawa ke Kurawa”.
Prabu
Kresna : “Di kala lama
Kaki Semar bertapa, baru kali ini saya mendengar bahwa para jiwa Asura
memperhatikannya. Ini suatu bukti bahwa setiap manusia tidak bisa cukup
bersenang-senang harta atau tahta saja. Setiap orang butuh tentram.
Saudara
Kurawa, ketahuilah, para petapa sejati itu tidak mungkin heran dengan harta,
tahta, dan rupa hias dunia. Kakang Semar sudah tidak heran dengan orang kaya,
orang pangkat, orang pintar, dan sebagainya. Beliau hanya berserah pada
hidupnya. Kurawa tidak mungkin bisa membangunkan karena angkara murka. Yang
bisa membangunkan hanya Wisnu dan Siwa. Padahal Wisnu itu saya dan Shiwa itu
Senggo Sekti, Brahma (pamong ketentraman dunia) itu Kaki Semar. Tiga dalam satu
tidak mungkin bisa dipisahkan peran tugas dunianya”.
Kurawa
marah, dan bertengkarlah antara Kurawa dan Pandawa. Kurawa kalah. Lalu
bersemboyan, bahwa perang akan dilanjutkan dalam Barata Yuda.
Senggo Sekti mengiringi Prabu Kresna membangunkan Kaki Semar.
Dikala mendekat dengan Kaki Semar, terkena daya panasnya orang tapa, Senggo
Sekti berubah aslinya menjadi Anoman. Bersipulah keduanya di hadapan Kaki Semar
dan beruluk salam.
Prabu
Kresna : “Hormat Salam
Bakti Wisnu dan Shiwa kepada Dewa Ismaya yang sebagai pengejawantahan Brahma.
Saya datang demi prasetia tugas Tri Tunggal di dunia atas Tuhan Pencipta kita”.
Mendengar
uluk salam dari Wisnu dan Siwa, Kaki Semar terkejut dan bangun dari bertapanya.
Kaki
Semar :
“Lhaiii...lhaii... ini pertanda bahwa Wahyu Tri Jaya Murti sudah manunggal
(menyatu) dengan para bijaksana negara. Selanjutnya, kewajiban para bijaksana
harus tega membinasakan belahan jiwa yang angkara dunia. niscaya tentram dunia
dan mulialah selamanya seluruh manusia di dunia, dari generasi ke generasinya.
Saya telah menolak mala petaka dunia. mari kita laksanakan tugas hidup mulia”.
Selesai.
Ditulis oleh: Sidik Purnama Negara,
2003, Cilacap.