Gaya hidup dan trend masyarakat memang terkadang bisa membuat kita tersenyum sendiri. Wang-sinawang, alias pandang-memandang istilahnya. Banyak sekali orang-orang desa yang bergaya ke-kota-kotaan, dan banyak pula orang kota yang merindukan suasana desa, kearifannya, dan ketradisionalannya.
Contoh realnya, sebagian masyarakat desa tergoda dengan kemilau kiasan dan hiasan dunia, entah yang berujud rumah, perabotan kebutuhan sehari-hari, bahkan hingga fashion. Kurangnya variasi dan kreatifitas gaya hidup, cenderung membuat suasana gampang bosan dengan yang itu-itu saja. Saking bosannya, demi gaya akhirnya 'sedikit' mencela suasana klasik yang dialami. Dengan harapan, ingin mempunyai gaya hidup seperti orang kota, agar bisa dianggap kehidupannya tidak stagnan. Siapa yang menganggap? Yang menganggap adalah nafsu dan pikirannya sendiri.
Tentunya kita pernah melihat seseorang yang kita kenal bergaya dengan dandanan dan sikap seperti selebriti. Padahal, kita tahu background kehidupan orang itu. Antara background dan gayanya, tidak sesuai sama sekali. Misalnya, si A adalah istri seorang petani kluthuk (petani kecil yang tinggal di desa terpencil). Namun, cara berpakaian dan bersikapnya seakan-akan bagaikan istri seorang menteri. Itu berarti si A termasuk orang yang kurang sadar posisi. Bila sikap dan gaya seperti itu tetap berlanjut, pada diri si A dapat timbul rasa kurang bersyukur dan tidak mau menerima kenyataan.
Contoh yang terkadang lucu lagi adalah sikap seorang pengusaha besar dan atau pejabat tinggi yang merindukan khasanah tradisional. Pengusaha besar dan pejabat tinggi, biasanya adalah termasuk orang yang mempunyai rejeki di atas rata-rata orang pada umumnya. Rumahnya megah, mobilnya mewah, ingin apa saja bisa beli. Namun, ternyata ada saja diantara mereka yang ingin merasakan hidup di desa, atau sekedar memiliki barang-barang khas desa untuk dipajang dan difungsikan di rumahnya yang berada di pusat kota.
Dengan kata lain, diantara mereka pun terkadang ada gaya hidup yang merasa bangga jika mempunyai barang-barang klasik dari desa. Entah itu yang berujud dari bambu, kayu, atau bahkan tanah liat. Jadinya, jika saat jalan-jalan ke luar kota melihat ada tempat yang berjualan perabotan tradisional, mereka pun membeli dan kemudian digunakan di rumahnya, kemudian merasa bangga bila kemudian dipuji sebagai barang yang langka di pusat kota.
Gaya hidup dan rasa percaya diri (PD) adalah sesuatu yang mesti kita selaraskan dengan keadaan yang nyata dan bisa di-disposisikan sebagaimana mestinya. Jiwa yang merindukan klasikitas (sesuatu yang bernilai klasik) lebih baik daripada yang merasa ingin dipandang 'wah' oleh yang lain. Tiada yang melarang orang untuk melakukan apa pun, kecuali hatinya sendiri yang mengetahui batas dan kapasitas.
Menerima kenyataan adalah suatu yang lebih baik daripada menyepelekan pemberian dan rahmat-Nya. Berbagi dan tidak melupakan asal muasal merupakan sikap bijak seorang yang sedang mendapat anugerah besar. Hidup, mati, jodoh, keberuntungan (beja/ bejo), dan kecintrakan (apes/ celaka) sudah digariskan dan merupakan ketentuan-Nya pada masing-masing manusia.
Wang-sinawang atau saling memandang bergantung pada kejernihan kalbu. Memandang orang lain yang merasakan bahagia bisa menjadikan kita turut bahagia. Namun, kita bukan sosok yang bijaksana bila memandang seorang yang sedang menjalani keadaan pahitnya hidup, tapi malah kita bahagia. Mari bersama saling merasa bahagia dan bersyukur atas apa yang sedang dianugerahkan pada kita dan semua orang. Dan, berikanlah kesejukan pada mereka yang sedang mengalami musibah, hibur hatinya, dan jadikan hatinya agar kembali ceria.