Kesetiaan
Punakawan (Ki Lurah Semar, Gareng, Petruk, dan Bawor/Bagong) pada Junjungannya
tidak diragukan lagi, sekalipun menjalani kesengsaraan, mereka tak pernah
berpaling. Meski berdiam di hutan belantara, demi menemani Junjungannya yang
sedang bertapa, dengan sabar dan ikhhlas mereka lalui. Hidup sederhana,
bersahaja menjadi takdir yang tak bisa dipungkiri. Namun, disekitar merakalah
Dewata Yang Agung menurunkan Wahyu yang selalu menjadi perebutan para Kesatria
di Bumi.
Dikisahkan
seorang Begawan bernama Mentaraga yang menjalankan tapa-barata menjelang
pecahnya perang Baratayudha. Sang Begawan menjalankan tapa-bratanya di Goa
Andrakila. Sangat mengherankan ketika sang Begawan diiringi oleh Punakawan,
yang selama ini Punakawan lebih dikenal dekat dengan Raden Arjuna (putra
Pandawa ke tiga). Sementara Begawan Mentaraga bertapa di dalam goa, para
Punakawan dengan setianya menanti diluar goa.
|
sumber: google images |
Perang
Baratayudha demikian menarik perhatian para kesatria bahkan resi, empu, dan
brahmana. Sekalipun sudah menjadi takdir Dewata Yang Agung. Namun, upaya
mengelak bahkan menggagalkan senantiasa dilakukan oleh para Imam Suci (resi,
empu, dan brahmana), supaya tidak ada jatuh korban dari kedua belah pihak. Dua
kekuatan besar antara Pandawa dan Kurawa, belum lagi kekuatan lain yang
mendukung keduanya.
Sang
Begawan sadar perang Baratayuda tidak dapat dihindarkan. Setelah sekian lama
berlalu, Begawan Mentaraga belum juga keluar dari pertapaannya, penantian tak
kunjung usai, keresahan pun mulai
dirasakan Ki Lurah Semar hingga berujung pada
tekat Ki Lurah Semar untuk melihat apa yang terjadi didalam goa. Bersama
Petruk, Ki Lurah Semar menerobos masuk Goa Andrakila untuk memastikan kondisi
junjungannya, sementara Gareng dan Bawor tetap menanti diluar goa.
|
sumber google images |
Namun apa
yang terjadi sungguh diluar dugaan mereka, Begawan Mentaraga tidak dijumpai
seakan lenyap ditelan Bumi. Terlanjur masuk kedalam goa, Ki Lurah Semar dan
Petruk akhirnya memutuskan untuk bertapa. Wahyu Baratayudha menjadi harapan Ki
Lurah Semar, sementara Petruk meminta petunjuk untuk dapat bertemu orang tuanya
yaitu Gandarwo Seto.
Setelah
mendapatkan wahyu yang diharapkan keduanya pun bergegas keluar dari dalam goa
tetapi menempuh lorong yang berbeda. Sementara Ki Lurah Semar kembali ketempat
Gareng dan Bawor, tetapi Petruk tak kunjung datang. Mereka pun mencari
keberadaan Petruk, hingga akhirnya Petruk ditemukan sedang duduk santai
dipinggir pantai.
Demikian
kisah yang melatarbelakangi keberadaan Goa Andrakila yang konon terdapat patung
petruk yang sedang berdiri nyodong menerima wahyu dari Dewata Yang Agung. Oleh
karena itu, goa ini mulai di kenal dengan nama Goa Petruk. "Pada saat-saat
tertentu, didinding goa sering terlihat sosok bayangan yang menyerupai Petruk,
apabila didekati bayangan tersebut menghilang," kata Mbah Rudin (74), Juru
kunci Goa Andrakila.
|
sumber: google images |
Goa
Petruk terletak di Desa Candi Renggo, Kecamatan Ayah, Kabupaten Kebumen, Jawa
Tengah. Goa ini berada diatas bukit kapur dengan ketinggian 75 M diatas
permukaan laut. Goa Petruk memiliki dua lorong yang panjang, pada lorong kanan
panjangnya mencapai 2.000 M, sedangkan pada lorong kiri 664 M. Selain memiliki
lorong yang panjang, Goa Petruk memiliki tiga tingkat atau tiga susun
diatasnya. Tingkat pertama medannya cukup nyaman dan mudah dijangkau oleh
pengunjung untuk wisata alam juga penelitian.
Pada tingkat kedua konon terdapat patung Petruk
berdiri nyodong (mengulurkan tangan), karena ulah penambangan Pospat oleh VOC
Belanda yang menggunakan bahan peledak maka patung Petruk ikut runtuh, sehingga
saat ini patung petruk sudah tidak ditemukan lagi. Pada tingkat ketiga medannya
sangat sulit untuk pengunjung, lokasi ini hanya dapat dijangkau menggunakan
alat panjat tebing.
Artikel ini bersumber dari: http://www.tabloidpamor.com/berita-96-legenda-goa-andrakila-goa-petruk.html