Jika
kita mengingat kota Brebes, maka ingatan kita akan tertuju pada gaya bahasanya,
bawang merahnya, dan telur asinnya. Sebab, gaya bahasa orang Brebes dibanding
daerah lainnya di Jawa Tengah, merupakan gaya bahasa yang beda. Dalam pelafalan
kata-katanya, ada nada panjang di akhir suku kata.
Sebagai
kabupaten yang cukup luas di Jawa Tengah ini, Brebes mempunyai keaneka ragaman
tradisi dan pola penghasilan masyarakat. Diantaranya adalah bentang Brebes
selatan yang daerahnya merupakan wilayah pegunungan, dan Brebes bagian utara
adalah wilayah pertanian yang kental dengan pertanian bawang merah dekat pantai
utara.
Masyarakat
Brebes bagian selatan ini mayoritas melakukan upaya penghidupan dengan cara
bercocok tanam padi, sayuran, serta berdagang. Sedangkan yang dijadikan titik
sentral dari Brebes bagian selatan adalah Kecamatan Bumiayu. Karena kecamatan
ini dilewati jalan utama penghubung antara jalur selatan dan jalur pantura. Namun,
untuk wilayah Bumiayu bagian barat, sebagian masyarakatnya sudah terbiasa
menggunakan bahasa sunda dalam sehari-harinya.
Letak
kabupaten yang strategis di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat serta
merupakan jalur utama penghubung jalan pantura dan lintas selatan, menjadikan
Brebes mudah dikenal oleh sebagian besar orang di negeri ini. Bahkan sejak
jaman penjajahan pun, Belanda membangun pabrik-pabrik di sana. Diantaranya
adalah pabrik gula Jatibarang, yang masih aktif hingga sekarang.
Keberadaan
Belanda pada masa penjajahan, nampaknya meninggalkan banyak sekali kenangan di
negeri ini. Warisan sejarah pun beraneka ragam, mulai dari aturan hukum hingga
bangunan-bangunan yang masih kokoh berdiri sampai detik ini. Pola bangunan
rumah Belanda yang khas, membuat siapa saja yang memandangnya langsung mengetahui
bahwa itu adalah bangunan Belanda.
Di Brebes
pun demikian, di sekitar pabrik gula Jatibarang, banyak bangunan-bangunan
Belanda yang masih beridiri tegak. Namun, hal itu tidak berlaku di Desa
Kalimati dan beberapa desa lainnya.
 |
umah sado-sado |
Di Desa Kalimati,
masyarakat atau penduduk setempat menyebut rumah mereka dengan istilah “umah
lugu”. Umah lugu adalah rumah polos, yaitu rumah dengan bangunan apa adanya dan
merupakan istilah untuk menyebutkan rumah yang telah lama dibangun. Sebagian besar
penduduk di Desa ini masih bertempat tinggal di dalam umah lugu.
Lalu apa
yang unik dari umah lugu?
Jika kita
menyukai sejarah, kita akan mudah membedakan bangunan Belanda dan bangunan
setelah kemerdekaan. Ciri khas yang paling mudah dilihat dari bangunan Belanda
adalah dinding temboknya yang jauh lebih tebal daripada tembok-tembok bangunan
sekarang.
Tembok-tembok
yang tebal inilah yang akan mempengaruhi otak kita dan menghasilakan pemikiran
dan anggapan bahwa jika ada bangunan kuno dengan tembok yang tebal, niscaya itu
bangunan Belanda.
Biasanya
di sebuah wilayah atau desa yang berdekatan dengan pusat kota, pabrik gula,
stasiun, dan pelabuhan, terdapat peninggalan rumah-rumah Belanda tempo dulu. Seperti
halnya di Desa Kalimati dan beberapa desa lain di sekitarnya, nampaknya
terdapat rumah peninggalan Belanda yang sangat banyak.
Desa Kalimati
terletak di Kecamatan Brebes Kabupaten Brebes, berbatasan dengan Desa Kalialang
dan Desa Kalipucang. Desa ini berjarak sekitar 8 Km (arah tenggara) dari pusat
Kota Brebes. Mayoritas penduduknya bertani dan berdagang.
Jika anda
ingin dibuat penasaran, pergilah ke Desa Kalimati. Di sana akan ada pemandangan
yang mengagumkan dan membingungkan jika tidak mengetahui. Sebab, sebagian besar
rumah penduduk di Desa ini bercorak arsitektur Belanda. Ketebalan tembok pada
rumahnya jauh lebih tebal daripada rumah-rumah sekarang. Itulah yang mereka
sebut dengan umah lugu.
Siapa
pun khususnya bukan orang asli Brebes, jika melihat rumah-rumah di desa ini,
pastilah akan terkagum dan menyangka bahwa itu adalah rumah peninggalan
Belanda.
Namun,
bagi warga penduduk setempat umah lugu merupakan umah lawas atau rumah lama
yang sudah ketinggalan jaman. Seakan-akan penduduk yang mempunyai rumah lugu
adalah penduduk yang kurang mampu merehabilitasi rumahnya. Akhirnya, nominal
gengsi pun nampaknya menjadikan warga minder dan mengecilkan hatinya.
Umah lugu
merupakan istilah jamak untuk mewakili semua jenis rumah lama. Istilah khususnya
dari pola bangunan bercorak Belanda di desa ini adalah rumah sado-sado. Tentang
arti dari kata sado-sado itu, banyak masyarakat yang tidak tahu bahkan tidak
mempedulikannya.
Siapa yang
mengawali dan sejak kapan pembangunan rumah sado-sado bermula pun penduduk
tidak tahu. Yang jelas, setelah kemerdekaan hingga tahun 1990-an penduduk Desa
Kalimati masih membangun rumah sado-sado.
 |
sisi sudut bangunan |
Ciri khas
dari rumah sado-sado adalah dindingnya yang sangat tebal. Ketebalan dinding itu
sekitar empat puluh senti meter dan merupakan dinding lapis dua bata. Bata merah
pun mereka dapatkan dari desanya dan sebagiannya lagi desa-desa sekitar. Batu bata
merah di Desa Kalimati tempo dulu berukuran 24 cm x 8 x 12. Batu bata itulah
yang mereka gunakan dalam pembangunan.
Meskipun
temboknya sangat tebal, rumah sado-sado tidak
menggunakan cor beton sama sekali. Tidak ada matrial besi, dan penggunaan
semen sangat sedikit. Mereka mengoptimalkan kapur, bubuk bata merah, beberapa
matrial lainnya untuk menyatukan bata-bata hingga menjadi dinding kokoh. Inilah
satu keunikan yang tidak ditemukan pada bangunan-bangunan model sekarang.
Entah meniru pola bangunan Belanda atau bagaimana, yang jelas umah lugu
Desa Kalimati merupakan rumah unik yang kokoh dan sudah tidak ditemukan lagi di
jaman serba canggih ini. Kemajuan teknologi seakan-akan membuat masyarakat
ambisius untuk berteknologi. Dengan tergoda iming-iming, tanpa sadar masyarakat
sekarang telah meninggalkan warisan pengetahuan dan budaya tradisional yang
sesungguhnya dengan meninggalkan itu, berarti meninggalkan keselamatan juga.