Panci gerabah tanah liat bukanlah perabot yang bisa disamakan dengan panci alumunium. Panci gerabah tergolong perabot masak yang memerlukan kelembutan dalam perlakuannya. Mungkin jika kaum hawa sekarang lebih banyak yang tidak tekun dalam merawatnya, itu artinya kesabarannya tidak sebaik kaum hawa tempo dahulu.
Namun, ada baiknya kita semua kini mau belajar kesabaran dan kelemah lembutan, agar kehidupan bisa kembali sejuk dan tentram. Dimulai dari seorang ibu yang wajib lemah lembut pada keluarga, niscaya suami dan putra-putrinya pun akan bisa "ketularan" kelembutan Sang Ibu.
Enak dan tidaknya masakan, selain dipengaruhi pencampuran bumbu yang pas, juga dipengaruhi oleh perabot yang digunakan, serta tangan dan kejiwaan orang yang memasak. Kejiwaan orang yang memasak, akan mempengaruhi rasa masakan, bahkan akan mempengaruhi rasa perasaan orang yang menikmati masakannya.
Dalam hal ini, perlakuan lembut yang telah terbiasa, tentu akan menjadi pengaruh yang luar biasa bagi rasa masakan dan rasa-perasaan penikmat masakannya. Masakan bisa menjadi kunci keharmonisan keluarga dan bisa menjadi unsur yang membuat betah keluarga agar tidak sering makan di luar.
Di jaman yang sudah tidak primitif ini, apa pun bisa dilakukan dengan mudah. Manusia cenderung menyukai hal-hal yang mudah dan tidak perlu repot. Akan tetapi, kesukaan yang demikian sesungguhnya mempunyai dampak negatif. Yaitu, kecenderungan enggan bekerja keras dan membesarkan ke-egoan. Akankah manusia akan kuat bertahan hidup dalam keegoan dan kemalasan? Sedangkan secara tiba-tiba keadaan bisa berbalik 180 derajat dan mengharuskan kita siap menghadapi situasi sepahit apa pun?
Belajar pada sejarah bukan berarti memundurkan peradaban. Sejarah bisa menjadi guru terbaik dalam melangkah di kehidupan. Para leluhur kita yang dikenal arif dan bijaksana, adalah kepastian yang semestinya kita bisa mewarisi sekaligus menerapkan kearifan dan kebijaksanaannya. Arif dan bijaksana lebih penting diwataki oleh manusia, agar alam tak panas menyengat bagai mentari di atas ubun-ubun.

Jauh sebelum ditemukan rice cooker dan dispenser, leluhur kita telah menggunakan perabot tanah liat (gerabah) untuk memasak, menyimpan air, dan sebagai perabot lainnya. Dalam setiap desa dan dusun, pasti ada pengrajin gerabah. Piring, teko, panci, 'water torrent', bahkan hingga perabot hiasan sekalipun menggunakan gerabah. Pembuatannya membutuhkan ketekunan dan kesabaran. Bukan hanya pembuatannya, penggunaaanya pun demikian. Tidak heran bila leluhur kita tergolong orang-orang yang berjiwa besar, memiliki ketekunan dan kesabaran yang tinggi, serta tidak memandang harga keuntungan yang tinggi. Semua dilakukan untuk keperluan, bukan keinginan.
Perkembaangan teknologi menggeser kesabaran menjadi ke-serba instan-an. Serba instan bisa menumbuhkan rasa malas. Rasa malas yang dimiliki banyak orang, akan merumitkan kehidupan alam dan seisinya. Gotong royong pun bisa berganti menjadi kapitalisme.
Banyakkah yang mau menghayati akan manfaat suatu benda yang digunakan sehari-hari?
Gerabah tanah liat, wayang kulit, gamelan, keris dan seni tari, adalah bukti bahwa leluhur kita merupakan leluhur yang mau melakukan kegiatan yang penuh ketekunan dan kelembutan. Wajar saja bila bangsa kita sejak dulu telah mempunyai tatanan (aturan) yang halus, yang bisa menumbuhkan sifat arif dan bijak sana, yaitu tata krama, unggah - ungguh, trap susila, subha sita, dan uda negara.
Tidak ada buruknya bila kita kini mencoba untuk sadar akan betapa pentingnya manusia yang berbudi pekerti luhur, arif, dan bijaksana. Diawali dari kesadaran lah, kita bisa mencoba untuk belajar bersikap dan bersifat demikian. Kehidupan ini bukan milik diri kita sendiri. Maka, mulailah belajar sesuatu yang mencerminkan budaya kita sendiri, agar tidak mudah terombang-ambingkan keadaan.