Kata “maksud” menurut penulis adalah di atas batas
mengerti dan paham. Artinya, mengerti dan paham itu belum tentu
maksud. “Maksud” menurut penulis juga lebih bersifat abstrak
daripada mengerti dan paham. Artinya, mengerti dan paham adalah lebih
cenderung bisa terlihat dan tertunjukkan daripada maksud.
Dari sepanjang sejarah manusia, kebanyakan manusia di
dunia memang cenderung mengambil posisi mengerti dan memahami,
daripada memaksudi.
Misalnya, dari dulu memang sudah banyak sekali orang berdagang, dia
jelas-jelas mengerti dan paham mengenai dagang, tapi dia tidak tahu
maksud dagang, akibatnya dia hanya bangga dan cinta keuntungan dan
benci serta takut dengan kerugian. Dari dulu memang banyak orang
bertani, dia jelas mengerti dan paham mengenai bertani, tapi dia
tidak maksud tentang tani, akibatnya walaupun satu butir padi dapat
menjadi benih dan kemudian berbuah puluhan hingga ratusan butir, tapi
dia masih pula berkata rugi. Dari dulu memang sudah banyak para
pendiri dan pemimpin negara, tapi dia tidak maksud tentang negara,
akibatnya negara tetap belum lebih daripada sekedar alat mencari
kuasa atau jabatan yang berujung pada penumpukkan harta pribadi dan
atau keluarganya.
Hal ini terbukti dengan belum adanya stempel
predikat negara terdamai dan tersejahtera di dunia. Dari dulu memang
sudah banyak pendeta dan ulama dan atau rohaniawan-rohaniawati dan
atau sejenisnya, dia-dia jelas mengerti dan paham mengenai hal
spiritual dan ketuhanan, tapi dia-dia tidak maksud mengenai hal
spiritual dan ketuhanan, akibatnya banyak orang membahas iman dan
seolah-olah berlomba beriman, tapi justru meninggalkan iman. Banyak
orang mebaca kitab tapi tidak maksud kitab, akibatnya banyak ahli
kitab tapi melanggar kitab. Dan sebagainya, hal-hal yang demikian
sangatlah banyak. Itu semua karena kebanyakan dari mereka masih belum
maksud atas apa yang mereka jalani.
Pendek kata, kesenjangan rasa sosial di sepanjang
sejarah kehidupan manusia pastilah akan datang silih berganti bila
tanpa adanya penjelasan tentang maksud dalam hidup dan mau mutlak
kepada maksud hidup.
Menitik kepada yang demikian, bukanlah berlebihan
manakala di sebuah negara atau sekelompok masyarakat mengadakan
pendidikan khusus tentang maksud, seperti: apa maksudnya hidup? Apa
maksudnya makan? Apa maksudnya bekerja? Apa maksudnya menjadi
pengusaha, pejabat, petani, ulama, dan sebagainya? Sebab, sebuah atau
beberapa buah maksud itu jelas lebih mengarah atau bertolak dari
nurani dan melaju ke arah selarasnya tujuan. Sungguh begitu banyak
pejabat yang tidak maksud jabatan, pedagang yang tidak maksud tentang
dagang, petani yang tidak maksud tentang tani, pelajar yang tidak
maksud tentang belajar, dan sebagainya.
Fakta adalah fakta! Perihal maksud yang serupa tapi
tidak sama dengan batas menegerti dan paham, hampir belum pernah
terkupas bahas mengenai mengerti dan paham oleh pihak-pihak manusia.
Termasuk pula di Indonesia yang telah berdiri sejak 17 Agustus 1945.
Apa maksud Indonesia merdeka? Apabila tidak jelas maksudnya, tentu
akan kabur tujuannya. Dampak dari kaburnya tujuan atas berdirinya
negara (Indonesia) yang jelas terutama harus melaju kepada
implementasi Pancasila yang semurni-murninya, sekarang sudah sangat
nampak adanya. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya dakwah-dakwah
atau ceramah-ceramah untuk menghidupkan nurani Pancasila, baik oleh
pejabat maupun rakyatnya.
Ini adalah fakta bahwa Bangsa Indonesia belum maksud
dengan Pancasila yang sebagai dasar berdiri negaranya. Ironisnya,
justru dipencar-pencarkan baik oleh pejabat maupun oleh rakyatnya itu
sendiri. Pantas sajalah apabila pejabat dan rakyat Indonesia banyak
yang tidak hafal apalagi paham serta maksud dengan Pancasila. Namun,
apabila diajak berbincang-bincang tentang hukum dan syariat atau
aturan-aturan dari paham mancanegara, justru banyak yang hafal dan
banyak yang berani membela hingga mempertahankan harta dan bahkan
jiwa raganya.
Kini, saat ku tulis buku ini pada Minggu Manis malam
Senin Pahing tepat pukul 19:57 WIB tanggal 27 Juni 2010, saya sangat
merasa haru dalam kesedihan yang tersebabkan dari merasa
kehilangannya nurani Pancasila pada Bangsa Indonesia tercinta.
Bagaimana tidak? Bangsa Indonesia-ku kini lebih mengidolakan dan
bahkan mengadopsi paham moral dan budaya manca daripada berpijak pada
Pancasila. Faktanya, hari-hari besar yang merupakan paham moral dan
budaya dari manca begitu meriah dirayakan dalam peringatannya yang
walaupun juga tidak tahu maksudnya, tetapi Hari Besar Pancasila
hampir tidak ada yang memperingati sedemikian rupa.
Fakta adalah fakta! Fakta itu hampir tidak bisa
disanggah dengan kata-kata, artinya semua uraian di atas adalah
fakta. Terkait dengan maksud tema atau judul Sisik Melik Negara Pecah
Matrix, penulis mengacu pada fakta. Kecuali para kaum yang sedang
gandrung-gandrungnya dengan intelektual dalam cara menghadapi
kehidupan demi gaya hidupnya, rata-rata manusia tentu akan cukup
tunduk kepada fakta rasa dan data yang sesuai dengan tanda-tanda
alam kehidupannya tanpa terkecuali. Kaum intelektual secanggih apapun
pasti akan tunduk kepadanya. Terutama pada saat-saat dia akan
menghadapi ajal (mati)nya. Disitulah setiap manusia tidak bisa
mengelak dari fakta rasa dan data yang tertera dalam tanda-tanda
alamnya. Untuk bisa masuk kepada maksud Sisik Melik Negara Pecah
Matrix kita harus bertunduk kepada fakta rasa yang sesuai dengan data
tanda-tanda alam yang ada.
Arti, pengertian, dan pemahaman Sisik Melik Negara Pecah
Matrix tidaklah terlalu dikedepankan dalam menggapai maksud. Namun
demikian, kilas pengertian dan pemahaman tentu akan terlintas di
benaknya. Di bawah ini adalah uraian yang mengarah kepada maksud tema
Sisik Melik Negara Pecah Matrix. Maksud tertandas khususnya kata
negara, secara umum adalah berpandang kepada seluruh negara (dunia).
Namun, secara khusus, penulis jelas berkultus kepada negara kita,
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Arti dan pengertian sisik
secara umum adalah kulit ikan, yang rata-rata berbentuk bulat
menyesuaikan dengan posisi bentuk badan ikannya seiring proses
pembesarannya. Sedangkan melik
menurut arti dan pengertian dalam Bahasa Jawa, adalah sesuatu benda
atau cahaya yang masih nampak walau dilihat dari tempat yang sangat
berjauhan. Sebagai contoh, lintang iku katon
melik (bintang itu nampak berkelip-kelip.
Fungsi sisik adalah melindungi dan bahkan memperindah
atau mempercantik tubuh ikan. Adapun yang termaksud di sini (negara),
adalah perlindungan kesetiaan rasa kepada negara khususnya Indonesia,
dari yang paling luar (rakyat kecil) hingga yang paling dalam
(pejabat tinggi). Adapun yang termaksud dalam melik adalah memandang
atau pola pandang kepada negara khususnya Indonesia, dari segi dan
sisi-sisi yang paling luar hingga menemukan sebab musabab dan
akibatnya baik dari segi yang terbaik hingga yang terburuk sekalipun.
Dengan demikian, bisa ditemukan dan dilaksanakanlah ketelitian bangsa
dalam berbangsa menuju sejahtera bersama sesuai ukurannya.
Sisi pandang yang demikian tentu lebih mengacu kepada
roh spiritual atau mutlaknya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dimana
sebuah negara dan seluruh komponennya atau lebih tepatnya raga-raga
manusia (bangsa), tanah, air, serta tumbuhkan dan
binatang-binatangnya, mutlak digerakkan oleh halusnya Sang Hidup
ciptaan Tuhan yang pastinya tidak kelihatan tetapi nyata dan bisa
dirasakan. Artinya, sebuah negara bisa berdiri dan membentuk
kesejahteraan yang paling sejahtera dan harus berawal dari murninya
petunjuk-petunjuk sejati dari Tuhan semesta alam.
Pendeknya, berdirinya serta makmur dan hancurnya sebuah
negara tergantung dari kelangsungan bangsa itu dalam menggapai
petunjuk dari Tuhan. Adakah putra bangsa ini yang memelihara
kelangsungan petunjuk sejati dari Tuhan? Jawabannya adalah ada pada
nurani diri anak negeri. Memandang negara dari segi dan sisi luar
yang seluar-luarnya hingga tidak ada yang paling luar dan memandang
negara dari segi dan sisi yang paling dalam hingga tidak ada yang
lebih dalam, itulah yang termaksud dalam “Sisik
Melik”.
Ditulis oleh: Sidik Purnama Negara.