Ho...ng
Wilaheng Jati Nuhoni Hajat-hajate Leluhur Nuswantara,
Tabe-tabe
Uluk Salam Mulya,
Siapa bilang kalau intelektual itu merusak bumi? Siapa bilang
intelektual itu mengganggu nominal peribadatan manusia kepada Tuhannya? Siapa
bilang intelektual itu merusak peradaban manusia? Siapa bilang merusak bumi,
mengganggu peribadatan, serta merusak peradaban? Artinya, siapa bilang
intelektual itu akan sangat merusak tapi juga akan menjaga bumi dan peradaban
manusia?
Siapa bilang orang makan tidak akan merusak badan? Tapi siapa
bilang orang yang tidak makan itu akan sangat merusak badan? Orang makan juga
sangat menyehatkan badan. Semua itu tergantung kepada tingkat perimbangan,
artinya tidak boleh berlebihan. Itulah sedikit gambaran praktek intelektual
manusia di muka bumi Tuhannya yang tak terbatas.
Batasan?
Ya, batasan! Bagi penulis, intelektual adalah ilmu
pengetahuan manusia yang wajib dipraktekkan demi pembuktian dalam menyatakan
manusia adalah makhluk yang termuliakan oleh Tuhan. Namun, harus tahu batasan
hak dan kewenangan dalam pembuktian. Apa batasannya? Batasannya adalah nurani
kemanusiaan atau rasa rumangsa-nya
kemanusiaan Tuhan. Lalu, apa yang kita rasakan sekarang? Yang kita rasakan
sekarang adalah bebas, lepas tanpa batas. Manusia telah lupa atau sengaja
melupakannya bila di dalam dirinya ada sebuah mustika ratu rasa perasaan yang
oleh Indonesia khususnya disebut nurani. Nurani bagi penulis adalah nur atau
cahaya rasa murni, yang befungsi sebagai penyeimbang dalam penggunaan akal budi
manusia, atau bisa juga dikatakan sebagai penyeimbang intelektual manusia.
Ilmu pengetahuuan dan teknologi adalah topik intelektual
manusia masa kini. Dunia telah dan sedang gempar dengan maraknya teknologi
hasil olah pikir manusia. Yang menurut ukuran dan ucapan manusia, dijulukinya
negara maju dan berkembang dengan saling berlomba – lomba bukan pada prikemanusiaan atau kebijaksanaan atau
kebaikan untuk saling bantu-membantu, tapi berlomba-lomba dalam perteknologian.
Sebuah negeri pun menggunakan teknologi canggih yang begitu hebat.
Dalam hitungan jam, hari, bulan, dan tahun, kemajuan
teknologi terus menerus dipacu tanpa memeprtimbangkan dampak dari semua itu.
Walaupun sesungguhnya manusia yang begitu itu sudah tahu dampak kerusakan bumi
dari teknologinya. Sementara negara-negara yang belum disebut negara maju, ada
sebagiannya terpancing untuk meniru maju, sebagiannya lagi ada yang menangis
tersedu-sedan. Mengapa? Karena mau ikut maju jelas sudah terbelenggu sistem
embargo dan lain sebagainya. Dan si sisi lain, ada nilai-nilai nurani yang
takut keliru dengan hukum alam dan hukum Tuhan.
Rasanya intelektual yang terimplementasi oleh manusia
sekarang sudah tidak berimbang. Nurani sudah tidak terfungsikan. Ketahuilah,
yang termaksud oleh penulis dalam hal ilusi intelektual adalah penggunaan ilmu
pengetahuan yang kebablasan atau kelewatan, sehingga berdampak pada bergesernya
hukum alam yang membahayakan bagi kehidupan manusia sedunia.
Perubahan iklim dunia yang telah diketahui oleh banyak kaum
intelektual itu sendiri, akan berdampak akhir dengan mengakhiri kehidupan para
pemikir itu sendiri. Namun celakanya, hal yang demikian akan berimbas pada kaum
yang lain, yang tidak melampaui batas dalam penggunaan akal pengetahuan. Ini
adalah hal yang sangat memilukan. Dalam pada ini, Indonesia yang menurut kaum
intelektual tingkat dunia baru dinyatakan sebagai negara berkembang, menurut
ukuran penulisa adalah sangat dahsyat dalam menjadi korban keganasan ilusi
intelektual. Hal tersebut sangat jelas dan sangat bisa kita rasakan.
Indonesia yang dulunya sangat kaya dengan budaya, sekarang
sudah tidak mampu mempertahankan budayanya. Ceritera-ceritera hikayat sudah
tenggelam oleh sinetron. Wayang kulit, wayang golek, berbalas pantun, puisi,
jenis mainan khas anak daerah, rumah adat, busana adat, dan sebagainya,
sekarang sudah nyaris tidak diketahui rimbanya. Semua ini adalah dampak dari
larutnya mental Indonesia oleh gaya dan daya intelektual yang kebarat-baratan,
yang walaupun harus terbirit-birit dalam keturut sertaan, tetapi tetap
memaksakan. Hal yang demikian bagi Indonesia adalah patut dan bahkan wajib
untuk ditinjau kembali.
Sebenarnya Indonesia bisa saja mengikuti jejak intelektual
gaya barat, tetapi harus tetap mempertahankan karakter budaya-budayanya.
Pasalnya, se-intelek apa pun tidak mungkinkaum intelek itu akan membangun
cagar-cagar budaya seperti dan sekaya Indonesia. Atau dengan kata lain, apakah
Amerika, Jepang, dan negara-negara maju itu akan bertanggung jawab atas
tenggelamnya budaya dan moral-moral ke-Indonesia-an? Tidak! Dan pastilah tidak!
Justru mereka bisa menertawakan dan akan lebih menghancur luluhkan Indonesia.
Kita semua tahu atas pembanjiran hasil intelektual bangsa
asing yang berupa kendaraan telah melebihi kapasitas jalan. Akibatnya jelas,
dokar dan gerobag pedati yang merupakan kendaraan asli Indonesia sudah tidak
dapat tempat di hati masyarakat. Padahal, keuntungan dan kepentingan alaminya
jelas untuk melatih kesabaran dan anti pemalasan. Karena suka beternak,
Indonesia pun akan memakai pupuk organik yang tanpa membeli. Adapun dampak dari
membludaknya volume kendaraan adalah polusi dan bahkan pemanasan global.
Mungkinkah pondasi yang demikian akan diteruskan? Bila terkehendak untuk
diteruskan, berarti kehancuran.
Kita semua tahu bahwasanya Negara Indonesia ini telah dan
makin teracuni oleh makanan yang berwarna-warni. Telah terpolusi pula oleh
kotornya udara di bumi. Dan juga telah termanjakan oleh hebat dan mewahnya
teknologi. Akibatnya, bagaimana tidak rusak pendidikan alami di hampir seluruh
anak negeri? GUMPALAN DARAH INDONESIA SUDAH GUMPALAN DARAH KIMIAWI. PIKIRAN
INDONESIA SUDAH PIKIRAN DUNIAWI MURNI. COCOK TANAM SUDAH PADA MALAS MELAKONI.
HARI-HARI MAKAN NASI, TAPI SUDAH BANYAK YANG TIDAK TAHU POHONNYA NASI.
Mungkinkah hal yang demikian harus diteruskan?
Intinya, ilusi intelektual khususnya Indonesia jelaslah sudah
merusak dan menggeser tatanan Budaya Asli Indonesia, merusak lingkungan (alam),
angan-angan panjang, membentuk kesenjangan sosial dan mendidik pemalasan serta
membidik serba komersial. Faktanya jelas, tidak ada generasi sekarang yang mau
turun ke sawah dan ladang, kecuali sedikit atau sedikit dipaksakan. Pelajaran
di sekolah formal seolah-olah sama sekali tidak memikirkan itu.
Bersekolah sambil berhura-hura dan memain-mainkan tekhnologi
yang ada dan dia punya walaupun hasil menjual sawah dan ladang bahkan pinggang,
yang penting bisa bersekolah atau kuliah dengan bersenag-senang. Kepedulian
terhadap alam nyaris tak terpikirkan. Semoga Indonesia-ku cepat kembali pada
tradisi sejati. Artinya, intelektual yang diperimbangkan dengan naluri dan
nurani kemanusiaan. Ilmu pengetahuan termasuk dalam hal peribadatan. Artinya,
ibadat juga harus menggunakan akal sehat.
Terlepas dari itu semua, menurut filsafat para ahli ibadat
(para kaum hakekat Indonesia/ Jawa), telah menyatakan bahwa dari jaman ke
jaman, yang namanya orang bodho
(kurang menggunakan akal sehatnya) adalah makanan orang pandai (akal-akal).
Untuk itu, dalam pada ini penulis menghimbau agar Bangsa Indonesia kembali pada
akal sehatnya, agar Indonesia tidak dijadikan lahan tidur bagi negara-negara
maju.
Ditulis
oleh: Sodikin Sidik Purnama Negara