Alangkah terlalu panjang dan lebar apabila kita mengungkap budaya Bangsa
Indonesia dan apalagi budaya dunia. Untuk itu, penulis hanya bisa mengacu pada
titik generalnya saja. Budaya itu apa? Apa budaya asli Indonesia? Selama ini
pastilah belum ada kejelasan. Padahal menurut penulis kejelasan budaya adalah
peran penting kedua dalam suatu negara setelah kejelasan upaya atau sumber
penghasilannya.
Indonesia yang terdiri dari ratusan bahkan ribuan suku dan bahasa,
tentulah sangat plural atau sangat banyak ragam budayanya. Namun demikian,
sahdat Jawa atau sahnya adat suku Jawa adalah lebih mendominasi tumbuhnya budaya
di Indonesia, yang lebih dikenal, baik secara rela ataupun terpaksa oleh suku
bangsa di dalam negara ataupun mancanegara. Artinya, barometer budaya Indonesia
adalah terkiblat kepada Jawa, baik itu teologisnya, empirisnya, praktisnya,
etikanya, estetikanya, dan lain sebagainya. Walaupun tidak menutup kemungkinan
budaya – budaya suku lainnya juga cukup mendominasi, diantaranya adalah Budaya
Bali.
Lalu,
Budaya itu apa?
Dalam teologi Jawa, budaya adalah akronim dari kata budi dan daya. Budi
berarti gerak, atau upaya badan, atau perbuatan berbuat demi maksud tan tujuan
yang telah ditentukan sesuai ukurannya pada manusia, binatang, tumbuhan, maupun
benda lain yang bersifat makhluk.
Adapun Daya berarti tenaga, atau kemampuan secara keseluruhan baik secara
nalar, naluri, maupun nurani. Namun, bila berbicara budaya seolah-olah dimiliki
oleh manusia yang merupakan kebiasaan pada sebuah suku bangsa, ataupun negara.
Padahal menurut penulis, budaya adalah milik masing-masing komponen makhluk
se-alam raya. Sebab, budaya secara lugu atau bakunya bisa diartikan dengan:
gerak kebiasaan tenaga. Sedangkan semua itu dimiliki oleh angin, air, bumi,
bintang-bintang, bulan, matahari, serta binatang dan tumbuhan.
Demikian adalah uraian mentahnya maksud kata budaya. Adapun uraian di
bawah ini adalah membahas budaya yang subjeknya adalah ragam manusia asli
Indonesia, yang secara teologisnya bersumber dari bahasa dan suku Jawa.
Perkembangan gerak kebiasaan tenaga ragam manusia di tanah Jawa atau
Indonesia (sebelum mengangket kata budaya) yang menurut penghayatan penulis
sesuai dengan nalar, naluri, dan nurani manusia yang pasti dimiliki oleh semua
manusia, terlebih dahulu bangsa ini adalah mengangket kata Budi Dharma. BUDI =
GERAK, DHARMA = MENGABDI atau PENGABDIAN. Maksudnya adalah, gerakan manusia
sesungguhnya adalah semata-mata untuk mengabdi atau pengabdian, baik pada
Tuhan, sesama, maupun sedikit untuk pribadinya.
Mengapa hanya sedikit saja yang untuk pribadinya? Ya..! sebab dalam hukum
kepastian sejatinya dharma atau pengabdian yang sesuai kenyataannya, mau tidak
mau sesungguhnya manusia baik disadari atau pun tidak, baik secara sukarela
atau pun terpaksa, adalah dikehendaki sepenuhnya mengabdi kepada Tuhannya yang
terimplementasi atas perilaku yang rela demi sejahtera bersama.
Dalam satu mudahnya, contoh seorang petani menanam seratus pohon buah,
mungkinkah seluruh hasil buah akan habis dinikmatinya? Dan apabila habis, itu
adalah keserakahan yang nyata, itulah yang senyata-nyatanya bahwa budi dharma
adalah sedikit untuk dirinya.
Dari kenyataan yang demikian, lalu bangsa asli Indonesia ini meyakini dan
melakoni bahwasanya hidup itu semata-mata untuk mengabdi kepada Tuhan dan
sesama-Nya, dan bukanlah milik atau rejeki untuk dirinya, kecuali yang
jelas-jelas sudah masuk atau termakan oleh raganya yang juga sekedar demi
melangsungkan pengabdiannnya sampai waktu yang telah ditentukan pula oleh
Tuhan.
Dengan yang demikian, secara otomatis bangsa Indonesia asli adalah bangsa
yang sesungguhnya paling tinggi kadar keikhlasannya, walaupun tidak berlabel
dan apalagi termodifikasi seperti halnya paham ketuhanan mancanegara.
Kiat-kiat yang demikian jelas terjadi pada sebelum paham-paham ketuhanan
mancanegara dan label-label dagang yang selanjutnya sebagian label pedagang
dinyatakan penjajah di Indonesia (VOC), karena gerak kebiasaan tenaga asli Nusantara
yang hanya ikhlas bila untuk pengabdian. Kemudian, dalam demi membangun
keindahan rasa dan kesejahteraan bersama, maka tercetuslah azas gotong royong. Budi Dharma atau Gotong Royong inilah Pilar
Budaya Asli Indonesia.
Ya..! gotong royong adalah pilar dasar kesucian budaya asli Indonesia. Jadi,
apabila Bangsa Indonesia tertanya oleh salah satu bangsa lainnya, apa budaya asli Indonesia? Budaya asli
Indonesia adalah gotong royong. Dan adapun apabila ditanya apa itu budaya? Budaya adalah kebiasaan gerak tenaga masyarakat.
Gotong royong adalah ketulusan yang tidak tertuliskan. Dan, adalah suatu
kebenaran bila pada masa pemerintahan Indonesia dipegang oleh Ibu Megawati,
kabinetnya diberi nama kabinet gotong royong. Namun, kebenaran bukan berarti
kesungguhan. Nyatanya, kabinet yang berdiri sekian bulan atau tahun, juga masih
belum mengarah kepada nilai sejahtera yang signifikan. Walau demikian, tetap
lumayan daripada kebinet yang kebarat-baratan. Gotong royong adalah ketulusan
dalam kebersamaan membangun tata rasa sejahtera manusia asli Indonesia.
Dengan ketulusan, tentulah setidaknya banyak nilai-nilai kesucian dalam
berkarya. Dengan kata lain, seindah apa pun konsepnya, se-mengkilap apa pun
warnanya, sebagus apa pun janji surga dan atau sejenisnya, barang siapa yang
telah meninggalkan dan menanggalkan kegotong-royongan, dan selanjutnya
mengkotak-kotakkan kebenaran, dan selanjutnya menyebut jalur-jalur yang tersuci
dan terbenar, bila sudah tidak mau bergotong-royong tetap sajalah meninggalkan
kesuciannya dalam berkarya dan menyimpang dari janji prasetia bangsa Indonesia.
Dan kini, hal yang demikian sudah sangatlah nampak menapak di Bumi
Indonesia. Entahlah apa jadinya apabila tidak segera kembali kepada budaya
aslinya (yaitu gotong-royong).
Mengingat kondisi Indonesia yang telah cukup menjauhi budaya sendiri,
melalui ini, penulis turut menghimbau kepada seluruh anak NKRI untuk seberapa
pun andil atau pulihnya budaya asli negeri sendiri. Demi agar tidak terjungkir
baliknya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdampak pada kesulitan dan
pecahnya kepala sendiri dan generasi-generasi, atau bahkan pecahnya negeri yang
kita cintai.
Ditulis
Oleh: Sidik Purnama Negara, berada pada buku Sisik Melik Negara Pecah Matrix.