Catatan penjelasan tentang ilusi politik terambil dari karya
kami yang pernah terpublikasikan secara nasional melalui buku Negara Pecah
Matrix.
Ho...ng
Wilaheng Jati Nuhoni Hajat-Hajate Leluhur Nusantara,
Tabe
– Tabe Uluk Salam Mulya
*Ho...ng
(Maksudnya, pelafalan pada huruf vokal O dibaca panjang)
Ke mana ingatanmu di kala engkau lelap tertidur? Dimana ingatanmu dikala
engkau masih bayi? Hingga kemudian perlahan-lahan engkau bisa menyadari dan
sebagainya mengingat kejadian-kejadian dalam kehidupanmu? Namun, mengapa
kebanyakan orang itu tidak mau itu dan padahal dia itu tahu tentang hal itu?
Pagar batas kehidupan manusia sesungguhnya adalah kelahiran dan kematian,
sempurnanya karena pikiran dan ingatan serta kesadaran (insaf). Akan dibawa ke
mana pikiran dan ingatan serta kesadaran kita? Bagi kaum yang mengetahui
pastilah akan dibawa ke arah dan kedudukan iman dan takwa kepada penguasa alam
semesta (Tuhan). Namun, bagi yang setengah-setengah tentu akan dibawa ke
politik demi mencapai apa yang dikehendaki nafsu pikirannya.
Sesungguhnya gardu utama politik adalah nafsu dan pikiran manusia. Lalu
apa sesungguhnya politik? Politik adalah tata cara manusia mencapai tujuannya.
Namun, kemudian biasanya dialih-fungsikan menjadi tidak bertata cara
meninggalkan tata cara dan mengesahkan segala cara demi mencapai tujuannya.
Dalam yang demikian politik jelaslah halus namun kotor. Karena kotor,
tentu akan mengotori. Artinya, politik dalam posisi merdekanya sebuah negara,
jelas hanya akan mengotori kebijakan negara.
Berbicara politik, rasanya Indonesia ini belum pernah berpolitik sehat
atau belum pernah merasakan sehatnya politik, kecuali pada masa mengusir
penjajahan. Dan pada masa itu lebih bisa dibilang politik tapi taktik. Namun,
keresahan dan kerusuhan Indonesia yang ditimbulkan karena politik baik dari
dalam maupun dari luar negeri justru sering terjadi. Ingat dan lihatlah itu,
peristiwa G30 S PKI, dan 27 Juli (peralihan PDI Suryadi ke Megawati), serta
masih banyak sekali contoh-contoh kecil yang terjadi dalam kehidupan
sehari-hari.
Menjamur dan suburnya politik di Indonesia yang terkonotasi dalam
gardu-gardu politik adalah beban anggaran dan beban moral seluruh anak bangsa
yang mengarah kepada perselisihan paham dan mengancam disintegrasi bangsa. Ini
adalah fakta!
Mengapa Indonesia masih berbasis politik? Padahal kita pasti tahu
bahwasanya politik itu adalah kejam dan kotor, walaupun nampaknya halus. Apakah
kita akan lebih senang apabila putra-putri Indonesia lebih banyak yang
berjatuhan akibat politik? Berapa banyak putra-putri Indonesia yang bangkrut
lantaran gagal dalam pencalonan dewan? Berapa banyak korban dalam pencalonan
bupati, walikota, dan gubernur di Indonesia? Berapa banyak yang mati terkapar
di jalan akibat kampanye partai atau pencalonan yang ditimbulkan dari politik?
Siapa yang bertanggung jawab? Menurut penulis, semua ini adalah korban dari
ilusi politik.
Ilusi politik yang termaksud oleh penulis dalam pada ini adalah
tertipunya rasa anak Indonesia dalam ambisi mencapai kewenangan dan kekuasaan
dengan mengesahkan segala cara dengan janji-janji adalah senjata politik.
Tidak ada politik yang tanpa janji. Tidak aada kaum politik yang tidak
mengamini permintaan kaum yang akan dipolitiki. Ya, sebelum kaum politikus
tercapai tujuannya, janji seperti apapun pasti akan dilakoninya. Namun, apabila
tujuan politik itu sudah tepenuhi, biasanya janji itu tinggalah janji.
Politik tidak lebih dari sebuah topeng atau kedok, yang jelas tidak
menampakkan keaslian jiwa manusia. Karena bukan keaslian jiwa manusia, maka
nurani pun jelas tidak ada, kecuali lipstik belaka. Apakah kita masih mau
berpolitik? Apabila masih berpolitik, berarti kita masih berjiwa kotor.
Pada kata tegasnya, kita harus berani berkata bahwa sesungguhnya
Indonesia bukan keturunan kaum politik! Namun, dipastikan keturunan kaum yang
berketuhanan dan berkeadaban, serta berprikemanusiaan.
Dalam toleransi permakluman garis Bhinneka Tunggal Ika yang walupun tanpa
doktrin atau aturan tertulis yang ada, namun sudah tumbuh subur dengan
sendirinya. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya sejarah pertengkaran atau
bahkan peperangan antara bangsa asli Indonesia dan bahkan dengan kaum
mancanegara, sebelum kaum politikus dari manca praja baik yang berkedok agama
maupun perdagangan itu masuk ke Indonesia. Ini adalah fakta yang tidak boleh
canggung dalam menyampaikannya, apabila Indonesia menghendaki jaya dalam
sesajhtera dan tetap pada prinsip ke-Indonesia-annya.
Secara jujur, kita harus berani berkata bahwasanya seluruh agama-agama
yang ada di Indonesia adalah sesungguhnya sifatnya teradopsi atau ter-anak
angkatkan oleh Indonesia. Untuk itu, jangan sampai agama digunakan untuk
berpolitik ke arah mengatur negara Indonesia, atau menguasai Indonesia.
Dari dulu kala, Indonesia tetap Bhineka Tunggal Ika. Secara jujur pula
kita harus berani berkata bahwasanya sistem perdagangan yang menjanjikan
berbagai keuntungan duniawi adalah bukan prinsip dasar Bangsa asli Indonesia. Untuk
itu jangan sampai prinsip dagang itu menguasai Indonesia.
Prinsip dagang adalah prinsip yang dibawa oleh kaum kolonialisme ke
Indonesia. Diantaranya adalah Belanda, Jepang, dan Portugis. Sedangkan prinsip
penukaran asli Bangsa Indonesia ialah prinsip imbal rasa yang setimpal. Artinya
tidak mengutamakan keuntungan, tapi lebih mengedepankan persaudaraan dalam
koridor saling bantu-membantu demi mekar dan sehatnya prikemanusiaan di muka
bumi.
Walau demikian pada kenyataannya, lebih banyak mana uang punya orang
Indonesia sekarang dengan orang Indonesia tempo dulu? Lebih intelektual dan
lebih berpolitik mana orang Indonesia sekarang dengan tempo dulu? Fakta berbicara
dengan tidak pernah mendengar dan membaca adanya utang Indonesia ke mancanegara
pada masa lampau, Indonesia telah bisa membangun Candi Borobudur dan Prambanan,
yang salah satu diantaranya diakui sebagai keajaiban dunia. Belum lagi bangunan
– bangunan cagar budaya di Indonesia yang lainnya.
Bukan berarti penulis mengajak Indonesia untuk tidak berpolitik atau
bahkan membidik kepada bentuk negara monarchi, namun sehatnya politik dan
kekuasaan betul-betul bisa membentuk Indonesia yang sejahtera se-sejahteranya. Itulah
yang penulis dambakan. Menengok yang demikian, kita memang perlu banyak
berfilsafat dan belajar kepada alam yang bersih tanpa polusi politik.
Bukan pula penulis membandingkan atau menyamakan tatanan kepemimpinan
manusia dengan sistem kepemimpinan binatang, tetapi sebagai sama-sama makhluk
Tuhan, antara manusia dan binatang kita patut mengambil pelajaran.
Semut, tawon (lebah), dan rayap, semua itu adalah binatang darat yang
senantiasa tunduk dan patuh kepada aturan alam dan pimpinan (rajanya) termasuk
dalam tata cara memilih pemimpinnya atau rajanya. Siapa semut yang bisa bertapa
kemudian bersayap dan bisa terbang, itulah semut yang berhak menjadi rajanya
semut. Dan barang siapa yang sudah menjadi raja, cukuplah berada di dalam istana
semut demi bisa berhubungan langsung dengan Sang Pencipta semut, demi
semut-semut itu mendapat kesejahteraan sesuai ukurannya.
Dan bilamana akan terjadi hal yang kurang mensejahterakan para semut, sang
raja semut itu radar ciptanya lebih dulu menerima isyarat dalam dan Tuhannya. Lalu,
sang raja mengisyaratkan kepada rakyat semutnya untuk beralih tempat atau sikap
lainnya. Begitu pula dengan tawon dan rayap.
Begitulah kiranya sistem kepemimpinan manusia. Barang siapa manusia yang
berani berkorban harta, jiwa, dan raga dengan suka rela demi bisa menggapai
ridho Tuhannya untuk bisa mengayomi dan mensejahterakan seluruh manusia dalam
wilayah atau negaranya, itulah yang berhak menjadi pemimpin manusia. Dengan
demikian, kehidupan manusia dalam berbangsa tidaklah ada rekayasa dan sia-sia. Tidak
ada penjual jamu jadi bupati, tidak ada penjudi jadi ketua dewan, dan
sebagainya.
Intinya, ilusi politik hanya akan memarakkan sistem-sistem kapitalisme
dan imperalisme di dunia, khususnya di Indonesia. Padahal tujuan kemerdekaan
Indonesia adalah anti kapitalisme dan imperalisme. Semoga Indonesia mau
meninjau kembali dalam hal politisasi dan kembali pada taraf sistem uji dan
bukti bakti kepada negeri dalam menentukan pemimpin Indonesia ini.
Ditulis oleh: Ki Ajar Sidik Purnama Negara