Pernahkah anda merasakan bahagia berdasarkan
keselarasan nurani? Jika pernah, bagaimana rasanya? Dan jika belum pernah,
apakah anda ingin merasakan itu?
Pada masa yang serba ada, serba canggih, serba enak, serba
mengkilap, mewah, dan serba-serbi lainnya seperti sekarang ini, pandangan batin
manusia terkalahkan oleh pandangan lahirnya. Mata yang melihat tampilan dunia
ini, hanya tersinkronisasi dengan pikiran saja. Sehingga menimbulkan keinginan
yang sesungguhnya merupakan bagian dari nafsu duniawi.
Dalam hal ini, ada garis besar poin-poin tentang
perasaan bahagia menurut anggapan kebanyakan orang yang sering terdengar dalam
perkataannya atau pun terlihat dalam sikap-sikapnya. Adapun poin-poin yang
dimaksud adalah:
1. Banyak orang yang berkata "saya sangat bahagia" karena setiap
hari terpenuhi keinginannya, setiap waktu bisa ke mana pun dengan kendaraan
mengkilapnya, uang tak pernah kurang, serta setiap saat bisa menunjukkan
kemewahannya.
2. Ada lagi yang mengatakan bahwa dirinya sering bahagia karena ada orang yang dengan segala cara
membuat dia senang, riang, dan merasa sempurna.
3. Selain itu banyak juga yang berkata "saya ingin bahagia" karena
selama ini (katanya) dia merasakan kurang atau bahkan belum bahagia.
4. Yang paling kurang bijak adalah seseorang yang
mengatakan bahwa dia selalu menderita dan
tidak pernah bahagia. Karena, dirinya menganggap dirinya sendiri jauh
berbeda nasibnya dengan orang lain yang dia lihat. Dirinya menginginkan dia
ingin seperti orang lain yang dilihatnya. Dan, dia bahkan merasa sebagai orang
paling tidak beruntung diantara teman-temannya atau orang-orang di sekitarnya.
5. Sedangkan yang paling sedikit dan jarang sekali
diungkapkan oleh orang-orang adalah bahwa dia merasa sering bahagia meskipun
orang lain menganggapnya menderita. Biasanya, kebahagiaannya tidak nampak dalam
penampilan dan juga ekspresi wajah.
Dari kelima poin di atas, manakah yang termasuk pernah
anda alami/ rasakan?
Perlu kita ketahui dan kita ingat, bahwa dalam
falsafah Budaya Jawa, keinginan merupakan bagian dari nafsu manusia.
Walaupun ada beberapa pakar keyakinan yang menyatakan keinginan dalam hal baik
adalah wajib, tetapi keinginan adalah tetap keinginan.
Falsafah Jawa pun menyiratkan
bahwa untuk menggapai kebahagiaan yang sungguh-sungguh (kebahagiaan yang
fitrah), tidak mungkin akan terwujud selagi masih memburu keinginan.
Lalu, jika kita memburu keinginan bahagia? Apakah
tidak akan terwujud pada rasa bahagia yang sejati? Jawabannya tergantung pada
penghayatan diri kita masing-masing.
Kembali pada poin-poin di atas. Untuk poin yang nomor
satu, nampaknya bahagia seperti itu pada jaman sekarang merupakan rasa yang
didambakan oleh sebagian besar orang di bumi ini. Dianggapnya dengan segala
keinginannya terpenuhi dan ke mana-mana bisa tampil mewah, akan bisa terhindar
dari pusingnya kepala dan sedih hati. Dianggapnya, dengan materi (harta) maka
apa pun problemnya dapat terselesaikan. Bahkan para penonton yang belum
bernasib mewah seperti yang dinginkannya, seolah-olah bersemboyan asalkan
banyak uang, hati menjadi tenang.
Dengan mohon maaf, sungguh 'para penonton' seperti itu
adalah korban dari nafsu keinginannya sendiri. Dengan kata lain, poin nomor satu adalah bukan
jalan menuju kebahagian yang selaras dengan nalar, naluri, dan nurani.
Sedangkan untuk poin nomor 2, itu
adalah kebagaiaan yang bahagianya bersumber dari nafsu. Ini biasanya terjadi
pada pasangan remaja yang sedang menikmati masa cintanya. Pertemuan (kencan)
dengan pacarnya, lalu shoping atau makan bareng di kafe, menurut mereka adalah
suatu hal yang membahagiakan. Apalagi jika malam minggu diapelin pacar
sedangkan temannya tidak diapelin oleh pacar temannya itu, malahan katanya rasa
bahagianya bertambah! Hmm... yang aneh lagi adalah orang itu bahagia karena
ketika ulang tahun dia dikado barang yang bagus dan mahal oleh pacarnya,
sedangkan beberapa waktu sebelumnya, si teman itu hanya di kado barang biasa
oleh pacar. Apakah dampak bahagia bisa menjadikan seorang sombong tanpa
disadari?
Untuk poin nomor 3, itu adalah
rasa keinginan bahagia atas dasar rasa kurang bersyukur dengan keadaan yang
ada. Atau, bisa juga keinginan bahagianya itu karena berada dalam tempo yang
lama pada keadaan yang serba minim. Sehingga menyebabkan nurani dan nalarnya
pada kebingungan jiwa. Jika seperti itu, dia berarti korban dari kebahagiaan
para jutawan yang bersifat hura-hura.
Namun, keinginan bahagia pada
poin nomor tiga ini semestinya tak perlu terjadi. Karena, seperti apa pun
kondisi hidup tetap bisa menjumpai kebahagiaan. Jika merasa kurang bahagia
karena belum pernah makan bareng cownya di cafe, atau belum pernah mengenderai
mobil mewah, sungguh keinginan bahagia untuk hal-hal itu tidaklah penting. Keinginan
yang menggebu-gebu tanpa ada peredaman dari orang terdekatnya atau dari dalam
dirinya sendiri akan menjadikan depresi dan kesedihan berlarut-larut, jika
nalar dan nuraninya tidak dibagkitkan kembali.
Pada poin nomor empat (4), ini
adalah pernyataan kenyataan yang sangat tidak berdasar nurani sama sekali. Orang
yang berkeinginan bahagia dengan alasan seperti itu hanyalah orang yang sudah/
sedang depresi. Depresi yang timbul disebabkan hasil pikirannya sendiri. Dianggapnya
orang lain selalu bahagia sedangkan dirinya merasa selalu susah. Orang ini
tidak sadar jika ia telah menghakimi kehidupannya sendiri. Justru dengan
berkeinginan bahagia seperti itu, akan sangat sulit untuk menjumpai kebahagiaan
selaras yang sesungguhnya.
Sedangkan untuk poin nomor lima
(5), adalah kenyataan yang langka (sedikit) untuk ditemukan. Orang yang merasa
selalu (sering) bahagia tetapi belum tentu nampak dalam sikap dan ekspresi
wajahnya, adalah orang yang telah bisa membawa dirinya sendiri. Ia berada pada
titik keseimbangan, sehingga ia bisa menganggap kenyataan hidup semuanya adalah
membahagiakan, dan bisa menganggap bahwa kehidupan di dunia didominasi oleh
orang-orang yang kejam untuk meraih kepuasan dan kesenangannya.
Penampilan dalam kebahagiaan
seperti pada poin nomor lima memang membuat tak percaya banyak orang. Karena,
orang yang bahagia dengan apa adanya ini lebih suka berbuat aneh dan cenderung
bukanlah hal umum seperti yang orang lain lakukan. Misal, orang lain suka berbelanja
atau jalan-jalan di keramaian, tapi dirinya malah sering menyendiri.; misalnya
lagi, orang lain suka mengumpulkan uang dan membeli barang-barang yang sedang
nge-tren, dirinya justru memberikan uangnya pada orang-orang yang lebih
membutuhkan. Inilah kebahagiaan yang menurut banyak orang adalah penderitaan.
Dari poin satu sampai dengan
lima, ternyata didominasi oleh kebahagiaan nafsu, yaitu pada poin 1, 2, 3, dan
4. Orang-orang seperti itu
sesungguhnya justru masih berada di tengah kebimbangan dan kegelisahan hidup.
Mereka berada pada tiupan badai dalam dirinya. Kebahagiaan yang dirasakan dan
yang ingin dirasakan secara tersebut, sungguh belum dapat dikatakan sebagai kebahagiaan
selaras yang berada pada kemuliaan hidup. Sedangkan untuk poin yang nomor lima, adalah langkah seorang yang sudah
berada pada depan pintu kebahagiaan yang selaras dengan kemuliaan hidup.
Mungkin 99,9 % manusia di bumi
ini ingin sekali hidup dalam penuh kebahagiaan. Ibarat lidah, ingin sekali
selalu merasakan masakan enak. Akan tetapi, bukankah kita sering mengalami
kejadian tak terduga? Maksud hati ingin makan enak, tetapi yang terjadi adalah
makan makanan yang tidak disukai dan dianggap tidak enak. Sama juga dengan
kebahagiaan, maksud hati ingin bahagia, tetapi malah tidak maksud apa sesungguhnya
bahagia itu.
Dalam hidup manusia, salah satu tugas yang berat
adalah menselaraskan hati, jiwa, dan pikiran dalam satu tujuan yang bermanfaat untuk kepentingan orang banyak,
dan tentunya inilah jalan kemuliaan. Karena, banyak diantara manusia yang
sesungguhnya tidak sadar bahwa keselarasan tidak digapainya, tetapi merasa
sadar bahwa ia telah sesuai dengan apa yang menjadi kewajiban utama manusia
hidup di muka bumi-Nya.
Maka dari itu, konsep kebahagiaan
dengan serba-serbi keinginan ini-itu adalah konsep yang tidak mulia dan dapat
menimbulkan kesenjangan sosial yang berdampak pada kejamnya sikap hidup tetapi
dianggap wajar. Ada baiknya di kehidupan ini kita belajar menjadi manusia yang
bijaksana, agar tidak menggebu-gebu dengan bahagianya sendiri/ keluarganya saja
yang bahagia dan nasib orang lain adalah urusannya sendiri-sendiri. Ingatlah sabda
Bung Karno: “Bangunlah suatu dunia dimana
semua bangsa hidup dalam damai dan persaudaraan”.