Sesungguhnya kepentingan manusia di bumi yang utamanya adalah untuk
menyempurnakan akhlak dirinya, keluarganya, dan sesamanya sesuai ukuran
jangkauannya, yang terukur dalam dan sesuai kemampuan rasa perasaanya dalam
menggapai titik puncak kabut terakhir, yaitu manusia yang seiman-imannya dan
setakwa-takwanya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam hal yang demikian, sungguh
bukanlah hal yang mudah, karena harus bertempur dengan nafsu keduniawian.
Awalnya nafsu keduniawian manusia adalah sangat sederhana, yaitu makan dan
minum seadanya, busana seadanya, dan papan (rumah) pun sederhana. Namun
walaupun demikian, jelaslah semua orang tidak bisa memenuhi kebutuhan dengan
sendirinya.
Dimulai dengan kesadaran atas kekurangan dan kelebihan masing-masing
manusia, munculah asas kebersamaan (gotong royong). Artinya, bekerja bersama
untuk keperluan bersama. Kiat-kiat gotong royong ini bergeser pada sistem
tukar-menukar barang (barter). Lalu dengan berbagai macam dalih, kepentingan
dan terutama dengan dalih demi kemudahan, lalu beralihlah sistem barter barang
menjadi menggunakan alat tukar berupa uang. Sejak saat itulah, posisi pemenuhan
kebutuhan lambat laun berubah menjadi nafsu keduniawian yang bersenjatakan
uang, yang lambat laun pula hampir semua manusia sedunia ter-ilusikan oleh mata
uang.
Adapun siapa manusia pertama yang bersepakat dan berpendapat membuat mata
uang, dan bagaimana aturan cara mendapatkan dan memfungsikannya, sampai saat
ini jelas tak seorang pun berdeklarasi atau pun menunjukkan jari atau mungkin
menunjukkan nama negeri. Karena mungkin enggan dianggap sebagai kaum yang
monopoli atau kaum yang mengkebiri hak dan anugrah illahi.
Tidaklah perlu kita bercakrawala dampak kehancuran moral atas besarnya
pengaruh ilusi uang yang terjadi di mancanegara atau dunia. Sebagai Bangsa
Indonesia, kita wajib berkiblat dan menilai kiat-kiat/ langkah-langkah
bangsanya serta dampak dampak dari keputusan langkah-langkahnya. Tidaklah
mungkin pula kita mengungkap dampak ilusi uang pada waktu Indonesia masih
bernama Kerajaan Sriwijaya atau pun Majapahit. Namun, cukuplah kita mengungkap
perubahan moral Indonesia yang telah berdiri sejak 70 (tujuh puluh) tahun
lamanya, dimulai sejak terproklamirkannya Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Dalam hal ini penulis membagi perubahan moral Indonesia perskala atau per
jangka 20 tahunan. Dari catatan sejarah perjuangan bangsa yang belum
ter-rekayasa dan terabaikan seperti sekarang, kita akan bisa mengetahui lugunya
sejarah perjuangan Indonesia. Berjuang?! Ya, berjuang..! Perjuangan yang
terkontaminasi pada rasa cinta dan bela bangsa tanah air yang telah nyata
sebagai sarana untuk terlahirkan, terhidupkan, dan bahkan termatikannya setiap
manusia adalah wajib hukumnya bagi kaum yang sungguh-sungguh dalam beriman.
Iman? Ya, iman..! Iman itulah bekal Indonesia merdeka, yang tercurah
dalam murninya kata perjuangan atau pengabdian pada tanah airnya. Perjuangan
jelas bukan sekedar ucap, tapi sikap. Berjuang dan terus berjuang, mengabdi dan
terus mengabdi, itulah kata-kata tandas hasil iman dan takwanya Bangsa
Indonesia asli Nusantara hingga bisa mengembalikan harkat dan martabat
Nusantara menjadi Indonesia setelah kurang lebih 350 tahun terenggut
kemerdekaannya. Artinya, dalam skala jangka waktu 20 (dua puluh) tahun pertama
Indonesia, moral Indonesia adalah moral perjuangan. Orang Indonesia yang tidak
mau berjuang atau mandul dalam berjuang, akan tercela dan bahkan diangap
pengecut dan mata-mata.
Nilai perjuangan bagi Bangsa Indonesia angkatan ’45 jelas bukan main-main
(tidak hanya sekedar ucapan dan hisapan jempol belaka. Hasilnya jelas, yaitu Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Sesanti “merdeka atau mati” itu bukti jihad atau
perjalanan di jalan Tuhan Yang Maha Esa bagi bangsa Indonesia. Perjuangan jelas
tidak bisa diukur dengan nominal uang. Justru dalam agenda perjuangan, bagi
yang mengukur nominal mata uang akan sangat dihinakan.
Pada menjelang dan awal kemerdekaan Indonesia, harkat dan martabat
seseorang ditentukan oleh nilai-nilai perjuangan. Itulah jangka moral Indonesia
pada masa 20 tahun pertama (1945 – 1965) sebelum mengalami perubahan yang
timbul dari ilusi uang. Sekali lagi, pada saat itu Bangsa Indonesia tidak
bermental uang, tetapi bermental perjuangan dan kebersamaan atau persatuan,
dalam kolong menjunjung tinggi budaya masing – masing suku bangsa dalam prinsip
peradabannya yang harus Bhinneka Tunggal Ika.
Jangankan korupsi, menjadi lintah darat pun langsung dikecam oleh hampir
seluruh anak negeri ini. Jangankan ada tiga belasan gaji, ingin menerima gaji
pun sudah dianggap kurang berbakti pada negeri, karena dipandang menjual tenaga
dan pikiran kepada tanah air sendiri. Jangankan mendirikan PJTKI, pergi ke luar
negeri pun dianggap takut kelaparan di negeri sendiri. Mungkinkah Indonesia
kembali seperti yang demikian? ya mungkin! Asal dikembalikan kepada prinsip
perjuangan.
Marilah kita bangkitkan kembali moral-moral perjuangan demi babak baru
Indonesia kita ini. Malulah aku dan kamu apabila tidak ada perjuangan untuk
negerimu yang telah membentuk darah dagingku dan darah dagingmu.
Dinamika Indonesia berikutnya adalah dinamika ORDE BARU (1965-1985). Dinamika
per skala ini adalah dinamika yang setengah-setengah. Artinya, mengutamakan
perjuangan juga tidak, berpijak pada perjuangan juga tidak, meninggalkan
perjuangan sepenuhnya pun tidak. Dalam pada ini, perjuangan cukup
diperalih-haluskan dengan kata ABDI NEGARA.
Karena setengah – setengah, hasilnya pun setengah-setengah. Setengah mengabdi,
setengahnya lagi memperkaya diri. Setengah membangun, setengah merusak. Pada periode
ini, sesungguhnya jurang pemisahnya sangat jelas, yaitu deklarasi orde baru dan orde lama.
Ya..! orde baru adalah orde pertengahan yang bisa dikatakan setengah-setetngah
dalam menjalankan laju tujuan berdirinya NKRI. Setengah menghormati pejuang,
dan setengah membuang jasa pejuang. Buktinya, pada awal-awal orde baru, gambar
Proklamator Indonesia pun terpengaruhi dalam difigurakan.
Walau demikian, periode ini masih mending, artinya nilai-nilai moral
spiritual masih dipersembahkan. Walaupun sebenarnya periode ini juga merupakan
awal pudarnya jiwa juang dan persatuan. Mengapa? Karena sang pelopor orde baru
menyebutnya bapak pembangunan. Karena membangun, tentu nilai-nilai mata uanglah
yang mulai dikedepankan untuk membeli tenaga dan material. Ujung-ujungnya,
berbahagialah orang yang bisa ikut jual beli tenaga, pikiran, dan material,
serta menangislah yang tidak bisa mengikuti sistemnya.
Mengapa menagis? Karena poby, bagi yang berjiwa, membangun itu harus
pertimbangan asal muasal uang dan dampak dari pada pembangunannya. Dalam periode
ini, jelas nilai-nilai kebersamaan dan ke gotong-royongan mulai pudar.
Selanjutnya adalah jangka REFORMASI (1985 – 2005). Pada prinsipnya yang
sesuai realita, jangka orde baru atau jangka setengah-setengah yang menggeser
nilai dasar perjuangan dan kebersamaan Indonesia, hanya bisa bertahan sampai
tahun 1985. Hal ini dibuktikan dengan sempat membabi-butanya orde baru demi
mempertahankan kekuasaannya dengan diadakan petrus atau penembakan misterius
agar membikin trauma warganya baik dengan rela maupun terpaksa, rakyat
Indonesia harus tunduk dengan orde baru.
Menurut penulis, periode reformasi adalah periode tinggal landas
Pancasila, atau setidaknya hampir tinggal landas Pancasila. Hal ini ditunjukkan
oleh sikap-sikap Bangsa Indonesia itu sendiri, baik pada rakyat maupun
pejabatnya. Pancasila sesungguhnya adalah prikemanusiaan. Jangankan memikirkan
program Pancasila, menoreh atau melirik hafalannya Pancasila saja terasa sudah
kesusahan.
Akibatnya, Indonesia yang pada masa lampau pernah menjadi wilayah kiblat adat
ketimuran, sekarang untuk bersopan-santun saja sudah kesulitan. Semua ini
adalah hampir dampak mutlak ilusi uang yang seolah-olah terskenario oleh pihak
kolosal mata uang.
Sesungguhnya hanya satu kata, Indonesia harus kembali pada Pancasila demi
terhindar dari ilusi uang. Lalu, apa moment Pancasila? Momen Pancasila adalah
perjuangan atau pengabdian dalam kebersamaan demi Indonesia dan bahkan seluruh
bangsa di dunia.
Ilusi uang jelaslah sangat bertentangan dengan nilai-nilai luhur
Pancasila. Cobalah kita renungkan... tenaga, pikiran, harta, dan benda, yang semestinya
menurut Pancasila adalah untuk murninya pengabdian dan perjuangan, dalam era
kolosalnya ilusi uang, semua itu sudah dikomersilkan.
Dalam kenyataannya sekarang, orang Indonesia berak (BAB) di Indonesia
harus membayar. Orang Indonesia minum air Indonesia pun harus membayar. Ini adalah
dampak ilusi uang yang jelas ada diserta banyak pengotoran moral, artinya
manusia sudah tidak lagi berpikir kemanusiaan (sosial), tapi berpikir murninya
komersial yang pada prinsip akhirnya sama sekali tidak menguntungkan.
Ya..! sungguh sama sekali tidak menguntungkan. Apalagi bagi kaum yang
sungguh-sungguh. Lihatlah itu uang yang seratus rupiah dulu pada Tahun 1970-an
diperebutkan hingga mati-matian karena masih bisa untuk membeli berbagai
kebutuhan. Namun sekarang? Tercecer di jalan pun sudah tidak ada yang
menghiraukan. Ini adalah contoh kongkrit ilusi uang yang telah cenderung
membawa dampak hancurnya mral perikemanusiaan dan yang pada masanya menyeret
pada kesombongan.
Intinya, dampak dari ilusi uang dalam Republik Indonesia dalam kurun
waktu 45 tahun yang terhitung dari tahun 1965-2010, terbukti telah sangat
memporak-porandakan moral Indonesia dari yang berdasar atau prinsip perjuangan
menjadi moralitas uang.
Adapun dalam tahap perubahan buruk
bagi Indonesia yang tertimbulkan dari ilusi uang ialah telah sangat merubah
pandangan Iman kepada prinsip perjuangan, kebersamaan, menjadi sangat
meninggikan nilai-nilai kesombongan bagi Bangsa Indonesia terutama bagi yang
banyak uang, walaupun itu uang didapat dari perlintah-daratan. Lihat dan
renungkanlah itu..!
Kebodohan dimanfaatkan untuk mencari uang,
agama dimanfaatkan untuk mencari uang,
suara, pantat, dan bahkan bencana sekali pun sudah dimanfaatkan
untuk mencari uang,
bahkan, uang
dimanfaatkan untuk mencari uang.
Sungguh! Alangkah nistanya Indonesia-ku saat ini. Di mana praktek
Pancasilamu? Semoga Indonesia tidak selalu demikian adanya tapi berubah pada
praktik Pancasila yang sesungguhnya demi terjadinya sisik melik negara pecah
matrix bisa terhindari.
Ditulis dari Buku Negara Pecah Matrix, karya Sidik Purnama Negara.