Kisah
di bawah ini merupakan sejarah pada jaman
kadewatan (jaman kedewaan), dan diceritakan dengan seni budaya pakeliran
wayang kulit. Lakon Wahyu Tri Jaya Murti ini pernah diperagakan oleh Ki Ajar
Sidik Purnama Negara pada tahun 2003 di Kawasan Goa Paku Waja, Bhumi Seloka
Maya – Karangbenda – Cilacap.
Berikut
adalah kisahnya:
Hooong
Wilahing Jati Nuhoni Hajat-hajate Leluhur Nuswantara
Tabe – tabe
Uluk Salam Mulya
Tuhan..., Izinkan lah kami memperagakan cerita
A.
PENDAHULUAN
Berdasar cerita wayang, kunci penentu ketentraman dunia
ada di darah Barata.
Darah Barata adalah keturunan manusia yang ikut bertapanya
Raden Palasara atau Begawan Abiyasa. Beliau adalah peletak darah Barata.
Raden Palasara atas prasetia tapanya, punya keturunan dua
kelompok satria berikut kejiwaannya. Kelompok Ksatria Kurawa berjiwa Asura (angkara), sedangkan kelompok
Ksatria Pandawa berjiwa Sura
(bijaksana). Dua dalam satu keturunan inilah penentu ketentraman dunia. Bila
Kurawa dan Pandawa sedang tentram, maka dunia tentram. Namun, bila darah
tersebut sedang bertanding, maka dunia pun bertanding (banyak perselisihan/ perang).
Demi terwujudnya ketentraman dan kesejahteraan dunia yang
sesungguhnya, atas kehendak Tuhan, baro-baro atau perang Barata Yuda antara
jiwa sura dan jiwa asura, tidak bisa dihindari. Barata Yuda merupakan simbol
bubarnya (binasa) angkara murka dunia. Pengakuan rasa rata-rata (keadilan)
tumbuh dengan sendirinya di setiap hidup di dunia. Parikesit adalah figur Ratu Adil yang hanya akan muncul setelah
perang Barata Yuda. Pari Kesit sosok penghampar rincian naluri kebersihan
(jiwa) situasi setiap hidup atau penjabar jiwa ksatria dunia.
Arti dan makna Ratu Adil adalah: Rasa Tunggal asal Dillah
(Cahaya Tuhan). Maksudnya, raja (pemimpin) yang bisa menjabarkan dan
menumbuhkan pengakuan rasa seluruh hidup hanya dari Tuhan. Dengan demikian,
tumbuhlah kesadaran bahwa setiap hidup adalah belahan jiwa-Nya. Rasa hidup
sungguh sama di muka bumi. Nabati dan hewani adalah ciri kesamaan rasa dunia.
Rasa akan berbeda-beda bila si penggila rasa membedakannya. Manusia itu
pemimpin rasa yang jelas harus berperasaan dalam merasakan hidup di dunia.
B.
PRA ALUR CERITA
Konon cerita, Raden Palasara bertapa
di Gunung Sapta Arga. Saking lamanya bertapa, hingga ada sampai burung
bersarang di kepalanya. Tujuan bertapa tidak ingin kedaton atau seton (tahta,
harta), tapi hanya semata-mata tujuan seloka maya, atau mewujudkan ketentraman
dan kesejahteraan seluruh hidup di dunia.
Tuhan melalui para Dewa mengabulkan
permohonannya, tapi dengan syarat mau dan harus melaksanakan baro-baro =
bara-bara = Barata Yuda. Artinya: Palasara harus tega membinasakan separo dari
belahan jiwa yang angkara di dunia. Ketahuilah, sesungguhnya separo dari
seluruh jiwa hidup di dunia (dada), jelas selalu membelah dua antara bara
angkara dan bara bijaksana. Berani membinasakan yang angkara adalah jalan
satu-satunya untuk mewujudkan ketentraman dunia.
C.
ALUR CERITA
1.
DI GUNUNG SAPTA ARGA
Atas perintah Tuhan, Dewa Narada memberikan sabda kepada
Abiyasa:
Dewa
Narada : “Abiyasa, Tuhan
selalu mengabulkan tujuan manusia. Tujuanmu sungguh mulia. Kamu bertapa untuk
mewujudkan ketentraman dunia. Tapa sucimu yang bercerita, sehingga diterima
Tuhan. Terimalah Anugrah Wahyu Tri
Jaya Murti ini demi mewujudkan ketentraman dunia. Satu syarat
yang harus dilakukan, kamu harus perang Barata Yuda. Binasakan-lah angkara
murka yang berada di separo hidup di dunia”.
Abiyasa : “Aduh Pikulun (Dewa),
hamba tidak sanggup melaksanakan. Hamba hanya sanggup membinasakan angkara pada
diri hamba. Tidak mungkin hamba tentram bila dihantui rasa dosa membinasakan
sesama. Apa tidak ada jalan lain, Pikulun?”.
Dewa
Narada :
“Tidak ada. Dan demi siang malam yang menjadi saksi keadilan Tuhan. Tujuan
mulia pantang dibatalkan. Tuhan itu satu keputusan pun tetap satu. Kamu bukan
satria, tapi begawan yang hanya pantas hidup di hutan dan paling-paling memberi
petuah belas kasihan. Kamu pantang urusan sejahtera bangsa manusia (negara).
Wahyu ini untuk satria negara, maka kelak kamu harus menurunkan satria yang
sanggup menerima tiga perkara wahyu ksatria:
1.
Satria Harus sanggup mensucikan hati dan
pikiran diri serta sesama,
2.
Satria harus sanggup menambah kebajikan diri
dan sesama,
3.
Satria harus sanggup membinasakan angkara
murka pada diri dan sesama.
Ingat, demi hitungan dua puluh sifat Tuhan, baik dalam
tahun, windu, atau abad, darah keturunanmu akan Barata Yuda, demi tentramnya
dunia. Sedangkan yang pada selamat
adalah yang tidak angkara dan mau melaksanakan tolak bebaya. Cukup sabda
Ulun. Ulun akan kembali ke Kahyangan..”
2.
DI NEGARA ASTINA
Pada suatu hari, Raden Suyudana,
pemimpin darah Barata yang berjiwa asura (jahat), mengumpulkan dua sesepuh
Keraton berikut senopatinya. Rama Prabu Salya Dewa dan Pandita Durna adalah
sesepuhnya, dan Basukarna adalah senopatinya. Pertemuan tersebut membahas
bagaimana caranya Suyudana bisa menerima Wahyu
Tri Jaya Murti, dengan harapan bisa lebih ternama dan menjadi raja yang
terkaya, sekaligus menyandang gelar predikat Ratu Adil. Berikut dialognya:
Suyudana : “Salam Bakti saya kepada sesepuh
dan senopati. Hari ini saya akan membahas bagaimana caranya Wahyu Tri Jaya
Murti bisa saya terima.
Negara
Astina sudah saya bangun sedemikian rupa megahnya. Harta saya sudah melimpah
ruah. Tahta saya tidak mungkin goyah. Negara lain sudah banyak saya jajah.
Tempat-tempat hiburan siang malam menambah indah. Rakyat sudah gigih dengan
teknologi canggih. Pameran saya ijinkan di seluruh wilayah. Devisa negara
tinggi karena saya mengekspor rakyat kecil para si miskin. Pemberantasan
kemiskinan sedang saya laksanakan. Sungguh mewah negara saya. Tinggal satu lagi
keinginan saya, yaitu: Wahyu Tri Jaya Murti. Agar saya menjadi satu-satunya
orang yang paling terhormat dan terkaya di dunia, karena dianggap sebagai
penentram dunia, sehingga Ratu Adil adalah saya.
Rama
Prabu Salya, saya minta pendapat kepastiannya. Agar wahyu tersebut hanya saya
yang menerima”.
Salya
Dewa : “Anak Prabu, saya sesepuh hanya bisa
bersaran. Menurut Rama, setiap negara harus mengingat dan menghormat alur
keturunan. Astina adalah alur keturunan sosok pertapa yang bersenjata Sastra
Budaya, sehingga sangatlah keliru mana kala Astina diacu pandangan ke manca
praja. Kehidupan mewah itu pantangan alur keturunan pertapa. Teknologi itu
milik bangsa yang telah digariskannya.
Ciri warna kulit dan bahasa bukan membedakan rasa perasaan,
tapi membedakan kesadaran alur keturunan bangsa yang harus mau menduduki
posisinya.
Adapun mengenai Wahyu Tri Jaya Murti, memang Paduka punya
hak karena darah barata, tapi baru dibahas sekarang, saya rasa sudah terlambat.
Menempuh wahyu yang sejati itu perlu
waktu yang lama. Dan, yang kuat biasanya hanya manusia-manusia yang telah
dikehendaki-Nya. Di tepi samudera, di goa-goa, atau bahkan di tengah hutan,
biasanya wahyu diturunkan. Walau tanpa disadari, bagi si penerima pasti
berprasetya tega harta dan rela nyawa. Wahyu tidak akan mau bermasalah, maka
akan jauh atau bahkan menjauhi masalah. Wahyu yang sejati itu bermisi
menentramkan dan menyelamatkan segala upaya kehidupan. Angkara murka adalah
pantangan wahyu jamika (sejati). Tidak ada sejarahnya wahyu diturunkan di kota
besar, apalagi pasar. Mengapa? Karena kota besar dan pasar berselimut keangkara
murkaan.
Perlu diketahui Anak Prabu, sementara sesama darah Barata
pada saudara Pandawa mungkin lebih pantas menerimanya. Pandawa dan abdinya
telah lama melakukan tapa brata. Menurut saya sebaiknya Anak Prabu menyadari
hal tersebut, lalu mari bersama saya hidup mbegawan (menjauhi hias dunia).
Sungguh, hidup tidak cukup jadi raja saja. Apalah artinya tahta dan harta bila
tidak bisa mulia. Begitulah Sang Prabu pendapat saya. Ingat.., bukan manusia
itu bisa merajai dunia selamanya, tapi dunia sedang bertugas merajakan manusia
demi saling tanggung jawab antar makhluknya”.
Pandita
Durna : “Maaf,
perkenankan saya bicara atas nama sesepuh utama di Astina. Kemajuan Astina
adalah hasil saran-saran saya yang harus diteruskannya. Tidak ada manusia yang
tidak butuh tahta dan harta, itu munafik. Anak Prabu tidak keliru, kelirunya
Anak Prabu berarti kelirunya saya”.
Salya
Dewa : “Maaf Nak Prabu, kalau manusia yang
dibutuhkan tahta dan harta, tidak ada hidup di dunia. Berapa banyak hidup yang
tanpa tahta dan harta? Harta dan tahta bukan kebutuhan, tapi keperluan jasmani
yang sudah tertakar ukuran oleh Tuhan, hanya seperlunya saja. Menurut saya,
siapa yang hidup berkiblat harta dan tahta, itu adalah yang kufur iman. Sebab,
beranggapan hidup itu buah akal pikiran. Sungguh itu jauh dari kadar iman”.
Suyudana : “Sudah, sementara semua pendapat
saya terima. Lalu, bagaimana menurut senopati?”
Basukarna : “Saya senopati, tugas saya hanya
membentengi negara dari kaum sparatis. Selebih dari itu saya cukup saya cukup
sebagai saksi. Namun, kalau sekedar pendapat, saya cenderung kepada Rama Salya
Dewa. Saya lihat dengan adanya teknologi
canggih di negara darah barata, rakyat semakin dan menipis takwanya.
Sumur-sumur tiap rumah ditiadakan dan diganti dengan air PAM. Padahal sumur itu
simbol sumber umur kedua setelah angin (nafas). Saya kadang bertanya, andaikata
malapetaka menimpa satu kota saja, negara pasti goyah karena PAM tidak lagi
bisa difungsikan. Ironisnya lagi, makanan alami ala leluhur Barata sekarang
diubah ala menu manca praja. Ini jelas sangat besar pengaruhnya bagi mental
para anak bangsa kita. Sebab, makanan membentuk darah, darah membentuk pikiran,
pikiran membentuk tindakan. Kalau makanan sudah dirubah, pikiran pun pasti
berubah. Kenyataan sekarang generasi Barata kurang mengenakan adat ketimuran
sebagai lambang ketentraman. Demikian sekedar pendapat”.
Di dalam pertengahan pembahasan,
datanglah sosok pemuda sudra yang mengaku nama Senggo Sekti. Dengan tidak
mengindahkan etika kerajaan, Senggo Sektin segera menyampaikan misinya.
Senggo
Sekti : “Hai Raja
Pelopor Angkara..! saya duta pembinasa angkara dunia turun..! Dan, kosongkan
tahta raja darah Barata. Ketahuilah, dunia dan seluruh hidup yang ada, akan
disejatikan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Selama ini, penghianat amanat hidup mulia
(manusia), telah menyeluruhi dunia. Makhluk pemimpin sudah tidak bisa memimpin.
Kejanggalan dunia mutlak karena pemimpin dan yang dipimpin. Dimana tanggung
jawabmu (kita) sebagai pemimpin sejati di dunia?! Tidakkah engkau tahu?!
Kini,
kondisi dunia sejati sudah tidak nampak lagi. Makanan hampir
tidak ada makanan yang sejati, minuman sudah hampir tidak ada minuman yang sejati,
sandang sudah hampir tidak ada sandang yang sejati. Dan dirimu sekarang juga
bukan diri manusia yang sejati. Fungsi dasar sandang, pangan, papan, sudah
teralih artikan. Para pedagang yang semestinya menjual barang dagangan untuk
mendapatkan uang, sekarang yang dijual adalah uang dan orang. Petani yang
semestinya memakai pupuk alam atas anugerah Tuhan, sekarang diganti pupuk
buatan. Pemimpin yang semestinya memimpin rakyat mlarat, sekarang hanya
memimpin pangkat. Sungguh betapa diperbudaknya hidup muliamu. Setiap manusia
harus tanggung jawab atas segala tindakannya. Bayangan adalah saksi tindakan
yang selalu disertakan oleh Tuhan.
Sekali lagi, turun! Kosongkan tahta raja darah barata
sebagai penentu ketentraman dunia. dan dengarlah, hayatilah sabda saya: Sesungguhnya
sekarang wahyu kepemimpinan negara sedang tidak menempat di manusia.
Setelah (kalau) kamu turun, walau pun tahta raja diganti orang seribu kali
dalam sehari, kondisi tentram belum akan ditumbuhkan sebelum wahyu negara
bertempat kembali di manusia. Ini adalah berita dari bahasa alam yang tidak
akan bisa disanggah dengan kata-kata.
Manusia mulia di dunia, dikasih mata untuk melihat,
dikasih akal untuk berpikir, dikasih hati untuk menghayat. Apakah engkau tidak
melihat dan menghayat, dari jaman ke jaman kalau manusia sudah berkhianat,
pasti adab pedih diturunkan agar Tuhan diingat”.